Rabu, 29 April 2015

BAN SERAP?

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

 Decit ban motor yang bergesekan dengan pasir menyentak Fiona yang tengah menundukkan kepala. Gadis yang sedang berjongkok sambil bersandar pada dinding mobil itu langsung mendongak. Seketika seulas senyum tipis mengembang di bibir tipisnya saat melihat pengendara motor Ninja bewarna hitam itu membuka helm dan langsung menghampirinya.

"Apa lagi? Dia ninggalin lo lagi?"  jemari lelaki itu dengan lembut menghapus sisa air mata di pipi Fiona.

Fiona hanya menggeleng sambil tersenyum lirih. "Ada ban serep nggak, Ndra? mobil gue bannya bocor."  suaranya terdengar serak.

Lelaki bernama Andra itu hanya mendengus sebal, lalu bangkit berdiri. "Nggak ada! gue bawa motor, nggak bawa mobil. Mana ada ban serep!" suaranya meninggi. "Mana pacar lo itu? nggak bisa apa dia jemput lo gantiin ban mobil lo yang bocor?!"  Bentaknya sambil membalikkan tubuh.

"Andra, tunggu!" Fiona ikut bangkit dan menahan tangan Andra. "Gue pulang sama apa? Doni lagi bikin tugas ama temennya, jadi nggak bisa jemput gue." suaranya pelan. "Gue nebeng lo aja, ya? biar ntar ini mobil di jemput mang Jaja." pintanya.

Andra membuang napas, lalu membalikkan tubuhnya. "Punya pacar nggak guna banget sih!" laki-laki itu mengomel sambil membuka jaket kulitnya, "Yaudah, nih pake jaket gue!" ucapnya sambil menyerahkan jaket itu kepada Fiona. Fiona tersenyum lebar, lalu mengikuti Andra menaiki motor hitamnya.

====

Suara petir menggelegar di tengah derasnya hujan. Andra berdiri di depan jendela kamarnya sambil memperhatikan rintik-rintik hujan yang berjatuhan itu. Ia menggigit bibir bawahnya saat mengingat Fiona. Tadi sore, ia baru saja membentak gadis itu hingga mereka bertengkar hebat. Sejak 5 tahun persahabatan mereka, ini pertama kalinya mereka bertengkar sehebat itu. Pokok masalahnya? Tentu saja si Doni itu! Pacar Fiona yang sama sekali tidak pantas di sebut pacar. Lagi-lagi Doni ketauan selingkuh di depan mata Fiona. Dan gadis itu? gadis itu hanya menangis dan berlari. Tanpa berani menyelesaikan masalahnya dengan Doni. Segitu cintanya'kah Fiona pada Doni? Hingga tidak mau melepaskan Doni setelah semua pengkhianatan yang ia lakukan? Andra mendengus sinis, lalu menggelengkan kepala.

Ia sangat marah melihat Fiona yang terus di sakiti Doni seperti itu. Ingin rasanya ia menghajar laki-laki kurang ajar itu hingga babak belur, namun Fiona selalu mencegahnya. Hal itulah yang menyulut emosi Andra hingga membentak Fiona dengan sangat keras tadi sore. Berharap bentakannya itu menyadarkan Fiona dari mimpi buruk bersama Doni. Namun tetap saja, sahabatnya itu telah dibutakan oleh cinta pada Doni.

Satu jam telah berlalu, kini Andra mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Ia bimbang antara menemui Fiona atau tetap di rumah dengan kegelisahan yang begitu menyiksa. Ahh... Bila tau cinta itu akan sangat menyusahkan seperti ini, ia akan membentengi hatinya dari pertama mereka bertemu, agar tak jatuh cinta pada Fiona! Ya, ini salahnya. Mencintai Fiona yang hanya menganggapnya sebagai sahabat. Bahkan ia rela terus-terusan menjadi ban serap Fiona, atau menjadi sapu tangan yang selalu menghapus air mata gadis itu. Tapi... ini sudah terlalu menyiksa. Ban serap.... Sapu tangan.... nggak ada yang lebih keren apa? Dengusnya dalam hati.

Laki-laki menghela napas, lalu membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan pintu. Namun tiba-tiba terdengar ketukan dari pintu itu, membuatnya kembali berbalik dan membukakan pintu.

"Ada ban serep? Mobil gue bannya pecah lagi." suara itu terdengar menggigil.

Andra terpaku sejenak,detik berikutnya dada lelaki itu mulai panas. Kilat kekesalan tampak dari mata hitamnya. "Kalo cuma ban serep gue nggak bisa ngasih lagi. Tapi, pintu rumah gue selalu terbuka untuk lo. Masuk!" Perintahnya sambil meninggalkan pintu.

Fiona mengikuti Andra ke dalam. Matanya memanas saat melihat punggung laki-lak itu. Tak menunggu lama, ia pun menubruk punggung tegap Andra. "Maaf..." satu isakan lolos dari bibirnya. Ia memeluki tubuh Andra dengan begitu erat, seakan takut kehilangan lelaki itu. "Ternyata, gue lebih nggak mampu untuk kehilangan lo. Kehilangan Doni nggak ada apa-apanya dibandingkan kehilangan lo.." suara gadis itu di tengah isakannya.

Andra yang awalnya sempat terkejut dengan perlakuan Fiona langsung membalikkan tubuhnya. Laki-laki itu kemudian kembali memeluk Fiona dengan begitu erat, meredam tangis Fiona di dadanya. "Jangan nangis lagi, gue nggak akan ngilang kemanapun. Gue masih di belakang pintu itu,selalu menunggu lo mengetuknya dan masuk ke dalam. Jangan tanyain ban serep lagi ya, gue udah nggak bisa jadi ban serep."

Fiona mengangguk berkali- kali sambil mempererat pelukannya pada pinggang Andra.


Rabu, 01 April 2015

Kita....

 Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

"Yaampun! Gosong!" Teriak gadis itu dengan panik sambil mematikan kompornya. "Haduuhh.. ini gimana sih? padahal tadi aku tinggal bentar 'kok?" ucapnya dengan gusar.

"Ada apa?" tanya seorang lelaki yang baru saja memasuki dapur.

Gadis itu membalikkan tubuhnya sambil nyengir lebar. "Eh, Angga! Nggak ada apa-apa kok. Sana lo tunggu di luar. hehe.." Ucapnya sambil mengulurkan tangannya seolah mengusir.

Laki-laki bernama Angga itu mengangkat alisnya dengan bingung, lalu hidung mancungnya mengkerut saat mencium bau aneh. "Ini bau apa Bi? jangan bilaangg..." Kaki panjangnya melangkah mendekati Bianca.

"Nah, kan.. udah gue tebak.." Ujarnya datar dengan wajah yang datar pula saat melihat hasil karya calon istrinya itu. "Ini masakan apa arang, Bi? ckckck..." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan miris.

"Yaahh.. namanya juga baru belajar. Terima aja kali Ga! Lo nggak liat perjuangan gue belajar masak demi lo?"

"Yaudah deh, mau di apain lagi. Sebagai calon suami yang baik gue akan selalu sabar."

"Makasih sayang, gue akan terus berusaha jadi yang terbaik buat lo." Satu kecupan mendarat di pipi Angga. Kemudian Bianca membereskan panci dan kompornya yang berantakan. Gadis itu berencana memulai lagi kegiatan memasaknya yang gagal.

Tiba-tiba sepasang tangan kekar melingkar di perut Bianca. "Ah, jangan pake lo-gue lagi, ya. Mulai sekarang kita belajar untuk pake aku-kamu. Setuju?" Bisik lembut Angga.

Bianca hanya tersenyum dan mengangguk. "Setuju!"

Ya, mereka dua orang yang dulunya hanya mengenal lo-gue, kini harus mulai belajar aku-kamu. Dan mulai belajar untuk memahami kata "Kita"

Lihat aku!

 Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

 "Lebih baik kamu pergi dari hidupku!" Bentakan pria itu menggema ke seluruh ruangan.

"Nggak akan! Aku nggak akan pergi sesentipun dari kamu!" Suara perempuan itu terdengar lantang, meski ada getaran yang ia coba sembunyikan.

"Keras kepala banget, sih! Kamu nggak bosen sama hubungan kita yang kayak gini terus? Aku udah bilang 'kan kalo aku nggak akan bisa lupain dia!" kali ini suara laki-laki itu merendah. Ia menatap perempuan yang ada di hadapannya itu dengan penuh harap.

Perempuan itu mengepalkan kedua tangannya, menahan emosi dan luka yang menekan dadanya. matanya berkilat. tampak lapisan bening yang membalut mata merahnya. Perlahan ia melangkah ke arah meja yang ada di samping laki-laki itu, lalu mengambil pigura yang menampakkan wajah anggun seorang perempuan.

"Ana, apa yang kamu lakukan?" Tanya laki-laki itu agak terkejut. Matanya terus mengikuti gerak-gerik Ana.

Prank! Ana melempar pigura itu hingga hancur berkeping-keping.

"Wanita pengkhianat ini tidak cocok untuk laki-laki setia seperti kamu! Buka mata kamu adrian! Dia udah jelas-jelas selingkuh sama sahabat kamu sendiri. apa itu nggak cukup untuk nyadarin kamu?" Ana berteriak di tengah air mata yang kini sudah berjatuhan dari bola matanya. "Nggak bisa kamu liat aku sejenak? Liat aku yang selalu yakin kalo kamu untuk aku. Aku yang selalu bertahan di tengah hubungan kita ini. Hubungan yang menurut kamu hanya sebuah perjodohan bodoh. Tapi bagi aku ini sangat berharga..." lirih Ana, lalu menundukkan kepalanya.

"Lihat aku, Adrian..."  Suara itu di tengah isakan yang pilu.

Sejenak Adrian terpaku, matanya terbelalak, mulutnya ternganga. Ana... nama itu seakan terus berputar di otaknya. Ana... tangis gadis itu memilukan hatinya. Ana... gadis itu yang selalu bertahan untuknya... Ana...