"Sorry, lama! hehe,," Dina terkekeh sambil menghenyakkan pantatnya di atas karpet.
"Yaelah, lama banget sih! Orang udah lapar, nih!" Vano cemberut, lalu berdecak kesal.
"Maaf, maaf... kan bikin mie dulu." ujar Dina sambil menyodorkan mangkuknya dengan wajah menyesal.
Laki-laki itu tersenyum maklum, kemudian menggerakkan tangannya seperti hendak membelai helaian rambut Dina. "Yaudah, yuk makan! hehe..." ucapnya sambil mengangkat sendok.
Mereka pun menyuap mie masing-masing dengan penuh semangat. Tak hanya itu, mereka mulai berbagi cerita tentang hal-hal yang mereka lalui sepanjang hari ini.
"Eh, gimana seminar proposalnya? tadi aku liat status fb kamu kayaknya kewalahan banget, ya?" Tanya Vano setelah meneguk segelas air.
Dina meletakkan mangkuknya, lalu meneguk air putih yang ada di sebelah mangkuk itu. "Banyak revisi! Parah banget." wajah gadis itu tertekuk dengan bibir cemberut yang membuatnya tampak lucu. "Tapi untung dosen yang ngawas pak Anto, walaupun ngasih kritik segunung, beliau juga ngasih saran." Seulas senyum lebar mengembang di bibir tipisnya.
"Oh, pak Anto yang sering kamu ceritain di BBM itu ya?"
Dina mengangguk. "Kamu kuliahnya gimana hari ini? jangan bilang si cewek nyebelin itu ngegodain kamu lagi, ya?"
"Hahahaha.. jealous, ya?" Vano terbahak, "Dia sexi lho, manis lagi." Ucap Vano sambil tersenyum jahil. Tampak raut kecewa dari wajah Dina, matanya mulai menyorotkan kekhawatiran mendalam, membuat Vano menghentikan kejahilannya. Laki-laki itu menatap mata hitam Dina, lalu berucap, "Tenang aja, se-sexi apapun dia, se-manis apapun dia, tetap nggak se-berharga kamu." Vano mengakirinya dengan senyum lembut.
"Di sini," laki-laki itu menyentuh dadanya, "Di sini udah penuh ama kamu, nggak ada tempat lagi buat dia."
Dina menghela napas lega, lalu tersenyum lebar. "Aku harap itu kata-kata yang jujur dari kamu."
"Kamu meragukan kejujuran aku? kamu bisa mantau aku kapan aja, sayang. Kita bisa skype'an tiap hari, bisa bbm'an sepanjang waktu. Dan aku udah ada label "Not available" dengan adanya foto kita berdua di tiap profil media sosial kita."
"Iya, tau. Untung aku hidup di zaman sekarang, jadi aku gak akan khawatir soal kamu…" Ucap Dina sambil mengusap layar datar di hadapannya. Ya, hanya lewat layar berukuran 14 inch ini mereka berkomunikasi dalam 3,5 tahun ini. Tapi tak mengapa, mereka tetap merasa saling terhubung satu sama lain.
Dan, percakapan mereka terus berlanjut hingga kantuk menghampiri.
=====
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
Rabu, 06 Mei 2015
Rabu, 29 April 2015
BAN SERAP?
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
Decit ban motor yang bergesekan dengan pasir menyentak Fiona yang tengah menundukkan kepala. Gadis yang sedang berjongkok sambil bersandar pada dinding mobil itu langsung mendongak. Seketika seulas senyum tipis mengembang di bibir tipisnya saat melihat pengendara motor Ninja bewarna hitam itu membuka helm dan langsung menghampirinya.
"Apa lagi? Dia ninggalin lo lagi?" jemari lelaki itu dengan lembut menghapus sisa air mata di pipi Fiona.
Fiona hanya menggeleng sambil tersenyum lirih. "Ada ban serep nggak, Ndra? mobil gue bannya bocor." suaranya terdengar serak.
Lelaki bernama Andra itu hanya mendengus sebal, lalu bangkit berdiri. "Nggak ada! gue bawa motor, nggak bawa mobil. Mana ada ban serep!" suaranya meninggi. "Mana pacar lo itu? nggak bisa apa dia jemput lo gantiin ban mobil lo yang bocor?!" Bentaknya sambil membalikkan tubuh.
"Andra, tunggu!" Fiona ikut bangkit dan menahan tangan Andra. "Gue pulang sama apa? Doni lagi bikin tugas ama temennya, jadi nggak bisa jemput gue." suaranya pelan. "Gue nebeng lo aja, ya? biar ntar ini mobil di jemput mang Jaja." pintanya.
Andra membuang napas, lalu membalikkan tubuhnya. "Punya pacar nggak guna banget sih!" laki-laki itu mengomel sambil membuka jaket kulitnya, "Yaudah, nih pake jaket gue!" ucapnya sambil menyerahkan jaket itu kepada Fiona. Fiona tersenyum lebar, lalu mengikuti Andra menaiki motor hitamnya.
====
Suara petir menggelegar di tengah derasnya hujan. Andra berdiri di depan jendela kamarnya sambil memperhatikan rintik-rintik hujan yang berjatuhan itu. Ia menggigit bibir bawahnya saat mengingat Fiona. Tadi sore, ia baru saja membentak gadis itu hingga mereka bertengkar hebat. Sejak 5 tahun persahabatan mereka, ini pertama kalinya mereka bertengkar sehebat itu. Pokok masalahnya? Tentu saja si Doni itu! Pacar Fiona yang sama sekali tidak pantas di sebut pacar. Lagi-lagi Doni ketauan selingkuh di depan mata Fiona. Dan gadis itu? gadis itu hanya menangis dan berlari. Tanpa berani menyelesaikan masalahnya dengan Doni. Segitu cintanya'kah Fiona pada Doni? Hingga tidak mau melepaskan Doni setelah semua pengkhianatan yang ia lakukan? Andra mendengus sinis, lalu menggelengkan kepala.
Ia sangat marah melihat Fiona yang terus di sakiti Doni seperti itu. Ingin rasanya ia menghajar laki-laki kurang ajar itu hingga babak belur, namun Fiona selalu mencegahnya. Hal itulah yang menyulut emosi Andra hingga membentak Fiona dengan sangat keras tadi sore. Berharap bentakannya itu menyadarkan Fiona dari mimpi buruk bersama Doni. Namun tetap saja, sahabatnya itu telah dibutakan oleh cinta pada Doni.
Satu jam telah berlalu, kini Andra mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Ia bimbang antara menemui Fiona atau tetap di rumah dengan kegelisahan yang begitu menyiksa. Ahh... Bila tau cinta itu akan sangat menyusahkan seperti ini, ia akan membentengi hatinya dari pertama mereka bertemu, agar tak jatuh cinta pada Fiona! Ya, ini salahnya. Mencintai Fiona yang hanya menganggapnya sebagai sahabat. Bahkan ia rela terus-terusan menjadi ban serap Fiona, atau menjadi sapu tangan yang selalu menghapus air mata gadis itu. Tapi... ini sudah terlalu menyiksa. Ban serap.... Sapu tangan.... nggak ada yang lebih keren apa? Dengusnya dalam hati.
Laki-laki menghela napas, lalu membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan pintu. Namun tiba-tiba terdengar ketukan dari pintu itu, membuatnya kembali berbalik dan membukakan pintu.
"Ada ban serep? Mobil gue bannya pecah lagi." suara itu terdengar menggigil.
Andra terpaku sejenak,detik berikutnya dada lelaki itu mulai panas. Kilat kekesalan tampak dari mata hitamnya. "Kalo cuma ban serep gue nggak bisa ngasih lagi. Tapi, pintu rumah gue selalu terbuka untuk lo. Masuk!" Perintahnya sambil meninggalkan pintu.
Fiona mengikuti Andra ke dalam. Matanya memanas saat melihat punggung laki-lak itu. Tak menunggu lama, ia pun menubruk punggung tegap Andra. "Maaf..." satu isakan lolos dari bibirnya. Ia memeluki tubuh Andra dengan begitu erat, seakan takut kehilangan lelaki itu. "Ternyata, gue lebih nggak mampu untuk kehilangan lo. Kehilangan Doni nggak ada apa-apanya dibandingkan kehilangan lo.." suara gadis itu di tengah isakannya.
Andra yang awalnya sempat terkejut dengan perlakuan Fiona langsung membalikkan tubuhnya. Laki-laki itu kemudian kembali memeluk Fiona dengan begitu erat, meredam tangis Fiona di dadanya. "Jangan nangis lagi, gue nggak akan ngilang kemanapun. Gue masih di belakang pintu itu,selalu menunggu lo mengetuknya dan masuk ke dalam. Jangan tanyain ban serep lagi ya, gue udah nggak bisa jadi ban serep."
Fiona mengangguk berkali- kali sambil mempererat pelukannya pada pinggang Andra.
Decit ban motor yang bergesekan dengan pasir menyentak Fiona yang tengah menundukkan kepala. Gadis yang sedang berjongkok sambil bersandar pada dinding mobil itu langsung mendongak. Seketika seulas senyum tipis mengembang di bibir tipisnya saat melihat pengendara motor Ninja bewarna hitam itu membuka helm dan langsung menghampirinya.
"Apa lagi? Dia ninggalin lo lagi?" jemari lelaki itu dengan lembut menghapus sisa air mata di pipi Fiona.
Fiona hanya menggeleng sambil tersenyum lirih. "Ada ban serep nggak, Ndra? mobil gue bannya bocor." suaranya terdengar serak.
Lelaki bernama Andra itu hanya mendengus sebal, lalu bangkit berdiri. "Nggak ada! gue bawa motor, nggak bawa mobil. Mana ada ban serep!" suaranya meninggi. "Mana pacar lo itu? nggak bisa apa dia jemput lo gantiin ban mobil lo yang bocor?!" Bentaknya sambil membalikkan tubuh.
"Andra, tunggu!" Fiona ikut bangkit dan menahan tangan Andra. "Gue pulang sama apa? Doni lagi bikin tugas ama temennya, jadi nggak bisa jemput gue." suaranya pelan. "Gue nebeng lo aja, ya? biar ntar ini mobil di jemput mang Jaja." pintanya.
Andra membuang napas, lalu membalikkan tubuhnya. "Punya pacar nggak guna banget sih!" laki-laki itu mengomel sambil membuka jaket kulitnya, "Yaudah, nih pake jaket gue!" ucapnya sambil menyerahkan jaket itu kepada Fiona. Fiona tersenyum lebar, lalu mengikuti Andra menaiki motor hitamnya.
====
Suara petir menggelegar di tengah derasnya hujan. Andra berdiri di depan jendela kamarnya sambil memperhatikan rintik-rintik hujan yang berjatuhan itu. Ia menggigit bibir bawahnya saat mengingat Fiona. Tadi sore, ia baru saja membentak gadis itu hingga mereka bertengkar hebat. Sejak 5 tahun persahabatan mereka, ini pertama kalinya mereka bertengkar sehebat itu. Pokok masalahnya? Tentu saja si Doni itu! Pacar Fiona yang sama sekali tidak pantas di sebut pacar. Lagi-lagi Doni ketauan selingkuh di depan mata Fiona. Dan gadis itu? gadis itu hanya menangis dan berlari. Tanpa berani menyelesaikan masalahnya dengan Doni. Segitu cintanya'kah Fiona pada Doni? Hingga tidak mau melepaskan Doni setelah semua pengkhianatan yang ia lakukan? Andra mendengus sinis, lalu menggelengkan kepala.
Ia sangat marah melihat Fiona yang terus di sakiti Doni seperti itu. Ingin rasanya ia menghajar laki-laki kurang ajar itu hingga babak belur, namun Fiona selalu mencegahnya. Hal itulah yang menyulut emosi Andra hingga membentak Fiona dengan sangat keras tadi sore. Berharap bentakannya itu menyadarkan Fiona dari mimpi buruk bersama Doni. Namun tetap saja, sahabatnya itu telah dibutakan oleh cinta pada Doni.
Satu jam telah berlalu, kini Andra mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Ia bimbang antara menemui Fiona atau tetap di rumah dengan kegelisahan yang begitu menyiksa. Ahh... Bila tau cinta itu akan sangat menyusahkan seperti ini, ia akan membentengi hatinya dari pertama mereka bertemu, agar tak jatuh cinta pada Fiona! Ya, ini salahnya. Mencintai Fiona yang hanya menganggapnya sebagai sahabat. Bahkan ia rela terus-terusan menjadi ban serap Fiona, atau menjadi sapu tangan yang selalu menghapus air mata gadis itu. Tapi... ini sudah terlalu menyiksa. Ban serap.... Sapu tangan.... nggak ada yang lebih keren apa? Dengusnya dalam hati.
Laki-laki menghela napas, lalu membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan pintu. Namun tiba-tiba terdengar ketukan dari pintu itu, membuatnya kembali berbalik dan membukakan pintu.
"Ada ban serep? Mobil gue bannya pecah lagi." suara itu terdengar menggigil.
Andra terpaku sejenak,detik berikutnya dada lelaki itu mulai panas. Kilat kekesalan tampak dari mata hitamnya. "Kalo cuma ban serep gue nggak bisa ngasih lagi. Tapi, pintu rumah gue selalu terbuka untuk lo. Masuk!" Perintahnya sambil meninggalkan pintu.
Fiona mengikuti Andra ke dalam. Matanya memanas saat melihat punggung laki-lak itu. Tak menunggu lama, ia pun menubruk punggung tegap Andra. "Maaf..." satu isakan lolos dari bibirnya. Ia memeluki tubuh Andra dengan begitu erat, seakan takut kehilangan lelaki itu. "Ternyata, gue lebih nggak mampu untuk kehilangan lo. Kehilangan Doni nggak ada apa-apanya dibandingkan kehilangan lo.." suara gadis itu di tengah isakannya.
Andra yang awalnya sempat terkejut dengan perlakuan Fiona langsung membalikkan tubuhnya. Laki-laki itu kemudian kembali memeluk Fiona dengan begitu erat, meredam tangis Fiona di dadanya. "Jangan nangis lagi, gue nggak akan ngilang kemanapun. Gue masih di belakang pintu itu,selalu menunggu lo mengetuknya dan masuk ke dalam. Jangan tanyain ban serep lagi ya, gue udah nggak bisa jadi ban serep."
Fiona mengangguk berkali- kali sambil mempererat pelukannya pada pinggang Andra.
Rabu, 01 April 2015
Kita....
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
"Yaampun! Gosong!" Teriak gadis itu dengan panik sambil mematikan kompornya. "Haduuhh.. ini gimana sih? padahal tadi aku tinggal bentar 'kok?" ucapnya dengan gusar.
"Ada apa?" tanya seorang lelaki yang baru saja memasuki dapur.
Gadis itu membalikkan tubuhnya sambil nyengir lebar. "Eh, Angga! Nggak ada apa-apa kok. Sana lo tunggu di luar. hehe.." Ucapnya sambil mengulurkan tangannya seolah mengusir.
Laki-laki bernama Angga itu mengangkat alisnya dengan bingung, lalu hidung mancungnya mengkerut saat mencium bau aneh. "Ini bau apa Bi? jangan bilaangg..." Kaki panjangnya melangkah mendekati Bianca.
"Nah, kan.. udah gue tebak.." Ujarnya datar dengan wajah yang datar pula saat melihat hasil karya calon istrinya itu. "Ini masakan apa arang, Bi? ckckck..." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan miris.
"Yaahh.. namanya juga baru belajar. Terima aja kali Ga! Lo nggak liat perjuangan gue belajar masak demi lo?"
"Yaudah deh, mau di apain lagi. Sebagai calon suami yang baik gue akan selalu sabar."
"Makasih sayang, gue akan terus berusaha jadi yang terbaik buat lo." Satu kecupan mendarat di pipi Angga. Kemudian Bianca membereskan panci dan kompornya yang berantakan. Gadis itu berencana memulai lagi kegiatan memasaknya yang gagal.
Tiba-tiba sepasang tangan kekar melingkar di perut Bianca. "Ah, jangan pake lo-gue lagi, ya. Mulai sekarang kita belajar untuk pake aku-kamu. Setuju?" Bisik lembut Angga.
Bianca hanya tersenyum dan mengangguk. "Setuju!"
Ya, mereka dua orang yang dulunya hanya mengenal lo-gue, kini harus mulai belajar aku-kamu. Dan mulai belajar untuk memahami kata "Kita"
"Yaampun! Gosong!" Teriak gadis itu dengan panik sambil mematikan kompornya. "Haduuhh.. ini gimana sih? padahal tadi aku tinggal bentar 'kok?" ucapnya dengan gusar.
"Ada apa?" tanya seorang lelaki yang baru saja memasuki dapur.
Gadis itu membalikkan tubuhnya sambil nyengir lebar. "Eh, Angga! Nggak ada apa-apa kok. Sana lo tunggu di luar. hehe.." Ucapnya sambil mengulurkan tangannya seolah mengusir.
Laki-laki bernama Angga itu mengangkat alisnya dengan bingung, lalu hidung mancungnya mengkerut saat mencium bau aneh. "Ini bau apa Bi? jangan bilaangg..." Kaki panjangnya melangkah mendekati Bianca.
"Nah, kan.. udah gue tebak.." Ujarnya datar dengan wajah yang datar pula saat melihat hasil karya calon istrinya itu. "Ini masakan apa arang, Bi? ckckck..." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan miris.
"Yaahh.. namanya juga baru belajar. Terima aja kali Ga! Lo nggak liat perjuangan gue belajar masak demi lo?"
"Yaudah deh, mau di apain lagi. Sebagai calon suami yang baik gue akan selalu sabar."
"Makasih sayang, gue akan terus berusaha jadi yang terbaik buat lo." Satu kecupan mendarat di pipi Angga. Kemudian Bianca membereskan panci dan kompornya yang berantakan. Gadis itu berencana memulai lagi kegiatan memasaknya yang gagal.
Tiba-tiba sepasang tangan kekar melingkar di perut Bianca. "Ah, jangan pake lo-gue lagi, ya. Mulai sekarang kita belajar untuk pake aku-kamu. Setuju?" Bisik lembut Angga.
Bianca hanya tersenyum dan mengangguk. "Setuju!"
Ya, mereka dua orang yang dulunya hanya mengenal lo-gue, kini harus mulai belajar aku-kamu. Dan mulai belajar untuk memahami kata "Kita"
Lihat aku!
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
"Lebih baik kamu pergi dari hidupku!" Bentakan pria itu menggema ke seluruh ruangan.
"Nggak akan! Aku nggak akan pergi sesentipun dari kamu!" Suara perempuan itu terdengar lantang, meski ada getaran yang ia coba sembunyikan.
"Keras kepala banget, sih! Kamu nggak bosen sama hubungan kita yang kayak gini terus? Aku udah bilang 'kan kalo aku nggak akan bisa lupain dia!" kali ini suara laki-laki itu merendah. Ia menatap perempuan yang ada di hadapannya itu dengan penuh harap.
Perempuan itu mengepalkan kedua tangannya, menahan emosi dan luka yang menekan dadanya. matanya berkilat. tampak lapisan bening yang membalut mata merahnya. Perlahan ia melangkah ke arah meja yang ada di samping laki-laki itu, lalu mengambil pigura yang menampakkan wajah anggun seorang perempuan.
"Ana, apa yang kamu lakukan?" Tanya laki-laki itu agak terkejut. Matanya terus mengikuti gerak-gerik Ana.
Prank! Ana melempar pigura itu hingga hancur berkeping-keping.
"Wanita pengkhianat ini tidak cocok untuk laki-laki setia seperti kamu! Buka mata kamu adrian! Dia udah jelas-jelas selingkuh sama sahabat kamu sendiri. apa itu nggak cukup untuk nyadarin kamu?" Ana berteriak di tengah air mata yang kini sudah berjatuhan dari bola matanya. "Nggak bisa kamu liat aku sejenak? Liat aku yang selalu yakin kalo kamu untuk aku. Aku yang selalu bertahan di tengah hubungan kita ini. Hubungan yang menurut kamu hanya sebuah perjodohan bodoh. Tapi bagi aku ini sangat berharga..." lirih Ana, lalu menundukkan kepalanya.
"Lihat aku, Adrian..." Suara itu di tengah isakan yang pilu.
Sejenak Adrian terpaku, matanya terbelalak, mulutnya ternganga. Ana... nama itu seakan terus berputar di otaknya. Ana... tangis gadis itu memilukan hatinya. Ana... gadis itu yang selalu bertahan untuknya... Ana...
"Lebih baik kamu pergi dari hidupku!" Bentakan pria itu menggema ke seluruh ruangan.
"Nggak akan! Aku nggak akan pergi sesentipun dari kamu!" Suara perempuan itu terdengar lantang, meski ada getaran yang ia coba sembunyikan.
"Keras kepala banget, sih! Kamu nggak bosen sama hubungan kita yang kayak gini terus? Aku udah bilang 'kan kalo aku nggak akan bisa lupain dia!" kali ini suara laki-laki itu merendah. Ia menatap perempuan yang ada di hadapannya itu dengan penuh harap.
Perempuan itu mengepalkan kedua tangannya, menahan emosi dan luka yang menekan dadanya. matanya berkilat. tampak lapisan bening yang membalut mata merahnya. Perlahan ia melangkah ke arah meja yang ada di samping laki-laki itu, lalu mengambil pigura yang menampakkan wajah anggun seorang perempuan.
"Ana, apa yang kamu lakukan?" Tanya laki-laki itu agak terkejut. Matanya terus mengikuti gerak-gerik Ana.
Prank! Ana melempar pigura itu hingga hancur berkeping-keping.
"Wanita pengkhianat ini tidak cocok untuk laki-laki setia seperti kamu! Buka mata kamu adrian! Dia udah jelas-jelas selingkuh sama sahabat kamu sendiri. apa itu nggak cukup untuk nyadarin kamu?" Ana berteriak di tengah air mata yang kini sudah berjatuhan dari bola matanya. "Nggak bisa kamu liat aku sejenak? Liat aku yang selalu yakin kalo kamu untuk aku. Aku yang selalu bertahan di tengah hubungan kita ini. Hubungan yang menurut kamu hanya sebuah perjodohan bodoh. Tapi bagi aku ini sangat berharga..." lirih Ana, lalu menundukkan kepalanya.
"Lihat aku, Adrian..." Suara itu di tengah isakan yang pilu.
Sejenak Adrian terpaku, matanya terbelalak, mulutnya ternganga. Ana... nama itu seakan terus berputar di otaknya. Ana... tangis gadis itu memilukan hatinya. Ana... gadis itu yang selalu bertahan untuknya... Ana...
Rabu, 25 Maret 2015
Berlapang Dada...
Dimas melangkahkan kakinya di atas rerumputan hijau. Matanya menjelajahi setiap sudut taman itu. Kini taman yang cukup luas itu telah di sulap menjadi tempat pesta yang sangat meriah.
“Rino,
jangan tinggalin Aya! Rino jahat! Kembaliin jepitan rambut Aya..” teriakan gadis kecil itu menyita perhatian Dimas,
hingga lelaki itu menghentikan langkahnya.
“Ambil
aja sendiri! Wueekk!” itu suara bocah
lelaki yang berlari kecil meninggalkan si gadis. Gadis kecil itupun mengejar si
anak lelaki. Kedua bocah itu tampak saling kejar-kejaran memperebutkan jepitan
rambut .
Seulas
senyum terukir di bibir tipis Dimas. Melihat kedua bocah itu, otaknya mulai
memutar kenangan lamanya bersama seorang gadis yang masih menemaninya hingga
saat ini. Ah, Dimas jadi tak sabar ingin melihat wajah gadis itu. Terlebih pada
hari ini, hari yang sangat special. Gadis itu pasti terlihat sangat cantik. Dimas
pun mempercepat langkahnya.
Tok..
Tok..
Tok..
“Masuk!”
Dimas melangkahkan
kakinya memasuki kamar bernuansa biru itu. Seketika matanya menangkap seorang
gadis yang tengah didandani di depan sebuah bermin besar. Dimas memperhatikan punggung
gadis berkebaya ungu –yang senada dengan batik yang ia kenakan- itu. Bahkan dari
belakag saja, keanggunan gadis itu sudah memancar dan menenggelamkan Dimas. Dimas
tertegun sejenak. Dari cermin itu, Dimas bisa melihat sang gadis yang tengah
memejamkan matanya saat di rias. Wajah gadis
itu membuat dada Dimas bergemuruh.
“Eh, Dimas! Sini..”
panggilan itu menyadarkan Dimas. Seketika ia menyunggingkan seulas senyum pada
ibu-ibu yang tengah mendandani gadisnya. Lalu mendekati mereka.
“Masih belum selesai
dandannya, ma?” tanya Dimas pada ibu itu.
“Udah kok. Nih Cuma mau
rapiin dikit aja.” Ucap ibu itu sambil merapikan rambut si gadis. “Yaudah, mama
tinggal dulu, ya. Acara tunangannya bentar lagi. mama mau liat persiapan di
depan dulu.” ucap si ibu sambil tersenyum, lalu melangkah keluar kamar.
“Oi, nyet!” gadis itu
melambaikan tangannya ke depan wajah Dimas yang terpaku. “Segitunya ngeliatin muka gue? Tampang gue
aneh ya?” ucap si gadis sambil mengerutkan keningnya.
Dimas tersenyum salah
tingkah, lalu menggeleng lemah. “Nggak kok, lo cantik.” Pujinya tulus.
Gadis itu tersenyum
malu-malu, “Masa sih? Serius lo?” tanyanya sambil mengusap-usap pipinya. “Ah,
biasanya juga bilang gue jelek. Tumben banget muji gitu.” Cibirnya.
Dimas tertawa kecil.” Yee...
percaya aja, di balik kata jelek itu gue menyembunyikan kata cantik tau!” ucap
Dimas sambil mengelus kepala gadis itu.
“Aduh! Sanggul gue bisa
rusak!” bentak si cewek sambil menghalau tangan Dimas. Dimas hanya tertawa
hampa. “Berarti selama ini, lo bilang gue cantik dong? Hahaha..” kini gadis itu
tertawa. “Berarti semua ucapan jelek lo ke gue kebalikannya dong? Tanya gadis
itu lagi sambil menaik turunkan alisnya.
Dimas hanya tersenyum
lirih. Iya, semuanya kebalikan. Bahkan saat gue bilang lo nyebelin, gue ga sayang lo, gue ga cinta lo, itu semua
kebalikan. Batin Dimas.
“Eh, BTW, lo keliatan cakep pake batik ungu
ini. serasi banget ama kebaya gue.” Gadis
itu mengusap-usap batik Dimas.
“Iya, ini kan batik
seragam keluarga. Bagus kan?” mengusap-usap kerah kemejanya. “Selamat ya, untuk
pertungan lo.” Ucap Dimas kemudian.
Gadis itu hanya diam,
lalu memeluk Dimas. “Makasih ya. Lo sahabat terbaik gue.” Ucap gadis itu di
depan dada Dimas.
“Nggak perlu makasih,
karena gue sayang lo...” ucap Dimas sambil membalas pelukan gadis itu.
Saatnya untuk
melepaskanmu, dan berlapang dada.
=======================================
Padang, 25 Maret 2015
Oleh, Thilmaa
Minggu, 22 Februari 2015
=22 Februari =
Selamat
datang 22 februari..
Yeeyyy...
kita ketemu lagi.. hahaha
Waktu terus berjalan
bukan? Dan umurpun akan terus bertambah bukan? Tetapi... ada satu hal yang
manusia lupakan, dengan bertambahnya umur berarti masa hidup kamu juga semakin
berkurang. Be smart with your time..
Yaa.. semoga aku bisa menggunakan waktu yang kupunya dengan se-pintar dan se-bijak mungkin.
Yaa.. semoga aku bisa menggunakan waktu yang kupunya dengan se-pintar dan se-bijak mungkin.
Alhamdulillah, aku
masih di beri kesempatan oleh Allah untuk merasakan tanggal ini lagi.. hahaha
Terimakasih Ya-allah,
atas segala rahmat, nikmat, serta berkah yang telah engkau limpahkan kepada
hamba, hingga hamba bisa sampai pada tanggal ini lagi. Terimakasih untuk setiap
napas yang masih bisa hamba hela, dan terimakasih untuk setiap detakan jatung
yang masih bisa hamba rasakan. Semoga, engkau masih berkenan memberikan hamba
kesempatan untuk terus merasakannya hingga waktu berpulangpun tiba.
Terimakasih untuk Ayah
dan Ama, yang selalu meridhoi setiap langkahku, mengingatku di dalam setiap
do’a, dan memberikan segala yang terbaik bagiku. Terimakasih untuk semua
teguran dikala aku salah, petuah dan nasehat dikala aku bingung, dan semangat
serta motivasi dikala aku lelah..
Terimakasih banyak.
Aku mencintai kalian, selalu dan selamanya.
Terimakasih untuk
kakak-kakak beserta adikku, yang selalu mendengar setiap keluh kesahku. Yang
selalu merentangkan tangan dan menerimaku di kala dunia seakan ingin menjauh.
Terimakasih untuk setiap canda tawa, cerita lucu,
hingga permainan seru yang sering kita mainkan dulu sewatu aku kecil.
Terimakasih untuk setiap ajaran, nasehat, serta bimbingan yang selalu kalian selipkan
di setiap langkahku menuju kedewasaan. Dan terimakasih untuk setiap
perlindungan serta bantuan yang selalu kalian berikan di sepanjang hidupku.
Haahh... tak jarang kita adu mulut, teriak-teriakan,
sindir-sindiran, dan bahkan sampai perang dingin. Tetapi selalu saja ada
akhirnya, bukan? Karena alamiahnya kita masih terlahir dari rahim yang sama,
rahim ibu kita. Dan kita tetap dialiri darah yang sama, darah orangtua kita.
Namun,bukankah keluarga
seperti itu? Bertengkar,lalu berbaikan,begitu seterusnya?. – Novel The
chronicles of Audy 21, hlm.50
Ya, aku sangat setuju dengan quote di atas. Apapun itu, apapun yang terjadi, hanya kalianlah tempatku kembali. Dan akupun akan selalu merentangkan tanganku ketika kalian ingin pulang.
Aku sayang kalian semua... ({})
Dan
selanjutnya terimakasih untuk teman beserta sahabat yang telah menemaniku
selama ini. Baik itu teman sepermainan, teman seperjuangan dalam menuntut ilmu,
teman sharing di dunia literasi,
maupun semua teman-teman yang pernah aku kenal.
Senang rasanya bisa berjuang bersama kalian. J
banyak cerita yang telah kita ukir bersama. Gokil-gokilan, galau-galauan,
sampai bandel bareng-bareng. Hahahha :D gue bahagia punya kalian semua.. ({})
Huuh...
balik lagi ke pokok permasalahan, sekarang 22 februari ya? Itu artinya umurku
nambah, sob! Udah berapa ya sekarang? #MendadakAmnesia muehehehe :p
Ya, pokoknya segitu lah ya...
Apa aja yang udah aku lalui selama setahun yang
lalu? Nih.. nih.. nih...
·
Pertama, alhamdulillah IP-ku masih
aman... hehehe
semoga semester depan IP-ku tetap aman... :D
semoga semester depan IP-ku tetap aman... :D
·
Kedua, alhamdulillah ada sedikit
pencapaian -yang belum patut di banggakan tetapi harus di syukuri. 2 cerpenku
jd kontributor dalam 2 cerpen antologi. yeeyyy... :D
Satu di terbitin DivaPress, satu lagi di terbitin nulisbuku.com. Terimakasih untuk kesempatannya.. Dan semoga di tahun ini aku bisa nelurin(?) novel.. J
Satu di terbitin DivaPress, satu lagi di terbitin nulisbuku.com. Terimakasih untuk kesempatannya.. Dan semoga di tahun ini aku bisa nelurin(?) novel.. J
·
Ketiga, alhamdulillah masih diberi
pelajaran hidup yang berharga. Contohnya saja, dalam hal pertemanan. Syukur
deh, masih punya teman-teman yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung.
#eh? -_-
Yap, banyak yang udah aku lewatin setahun ini. Hingga aku mulai bisa melihat mana teman yang sesungguhnya, dan mana teman yang hanya datang di saat ia butuh saja. Pesan gue, jangan berteman hanya atas azas manfaat aja. Teman ya teman, saat lo merasa cocok dan nyambung sama dia, saat lo nyaman gabung sama dia, dan saat kalian selalu saling mendukung satu sama lain, saat itu lo bisa sebut dia teman. Bukan saat lo butuh dia aja baru lo bilang teman. Ga semua orang mau lo bodoh-bodohin. Di saat mereka terlihat bodoh, di saat itulah mereka lagi menilai lo. Think smart, okay?
Dan semoga, temanku adalah teman yang sebenar-benarnya teman. Bukannya teman yang makan teman.. Nyahahaha... :D jangan sampai “awak demi kawan, kawan demikian.” -_-
Yap, banyak yang udah aku lewatin setahun ini. Hingga aku mulai bisa melihat mana teman yang sesungguhnya, dan mana teman yang hanya datang di saat ia butuh saja. Pesan gue, jangan berteman hanya atas azas manfaat aja. Teman ya teman, saat lo merasa cocok dan nyambung sama dia, saat lo nyaman gabung sama dia, dan saat kalian selalu saling mendukung satu sama lain, saat itu lo bisa sebut dia teman. Bukan saat lo butuh dia aja baru lo bilang teman. Ga semua orang mau lo bodoh-bodohin. Di saat mereka terlihat bodoh, di saat itulah mereka lagi menilai lo. Think smart, okay?
Dan semoga, temanku adalah teman yang sebenar-benarnya teman. Bukannya teman yang makan teman.. Nyahahaha... :D jangan sampai “awak demi kawan, kawan demikian.” -_-
·
Keempat, alhamdulillah di akhir tahun
kemaren dapet gadget yang aku pengen banget.. :3 ya, mungkin bagi sebagian
orang itu hal biasa, tapi bagiku itu sangatlah berharga..
Dan semoga berkah di pake.. hehehe
Dan semoga berkah di pake.. hehehe
·
Kelima, alhamdulillah tahun ini aku jadi
tambah mengerti arti dari keridhoan kedua orang tua. Tidak salah ada hadist
yang bilang “Ridho Allah terletak pada ridho kedua orang tua, dan murka Allah
terletak pada murka kedua orang tua.” -H.R.A t-Tirmidzi.
Ya, itu benar sekali. Ketika lo minta keridhoan dan doa restu dari kedua orang tua lo untuk melakukan sesuatu (Mau UTS misalnya) , insyaallah jalan lo akan dilancarkan oleh Allah.
Ya, itu benar sekali. Ketika lo minta keridhoan dan doa restu dari kedua orang tua lo untuk melakukan sesuatu (Mau UTS misalnya) , insyaallah jalan lo akan dilancarkan oleh Allah.
Dan semoga, aku selalu dilimpahi
keridhoan oleh kedua orang tuaku.. J
·
Daannn... yang terakhir, alhamdulillah
masih betah ngejomblo... -_- nyahahhaa... :v
Gue masih nyaman ama hidup gue yang sekarag, sob! :D masih betah ama novel, drama korea, film, dll. Mungkin tahun ini kali ya, Mr.Right gue bakal datang.. :v amiinn.. amiinn...
Gue masih nyaman ama hidup gue yang sekarag, sob! :D masih betah ama novel, drama korea, film, dll. Mungkin tahun ini kali ya, Mr.Right gue bakal datang.. :v amiinn.. amiinn...
Oke, itulah beberapa hal yang sudah aku lalui di
taun ini. Sebenernya masih banyak sih, tapi nggak enak juga bongkar aib
banyak-banyak di sini... mehehhe :v
Happy birthday to me.. semoga aku menjadi lebih baik
lagi, makin dewasa, sehat selalu, rejeki lancar, kuliah sukses, (sebut aje
semuanye -_-) tambah baik hati, tidak sombong, rajin
menabung (ujung-ujungnya kesini lagi ._.) dan makin kece... hahahhaha
Terakhir, semoga Allah masih memberiku kesempatan
untuk dapat membahagiakan kedua orang tuaku, serta menemukan pendamping hidup
yang akan membimbingku ke jalan yang di ridhoinya... J
Sampai ketemu lagi, 22 februari... ^^
Rabu, 11 Februari 2015
Life Must Go on, right? Aku Ora Popo..
====================================================
Drrtt.. drrtt..
Drrtt.. drrtt..
Laki-laki
itu meraih ponsel yang bergetar di antara tumpukan berkas di atas
meja. Ya, malam ini dia begadang lagi menyelesaikan pekerjaannya.
Tertera nama Aldi di layar ponsel itu, tanpa tunggu lama dia langsung
menganggakatnya.
“Assalamu’alaikum.”
...
“Iya nih, gue begadang lagi. Ada apa lo telepon gue?”
...
“Reunian? Mm.. oke, gue bisa. Kapan?”
...
“Ah, ya. Gue pasti datang,
kok.”
...
“Oke, Di. Yop, bye.”
Tutt..
sambungan telpon itu terputus. Laki-laki itu meregangkan ototnya yang
terasa kaku, lalu ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Aldi,
temannya semenjak SMA hingga sekarang. Reunian? Mendengar kata itu
membuatnya rindu akan masa SMAnya dulu. “Hahhh.. pengen flashback dulu.”
Gumamnya pelan.
FLASHBACK ON
Cantik.
Satu kata yang menggambarkan seorang Tasya. Cewek yang sedang mencatat
di papan tulis itu bener-bener idaman semua cowok. Nggak hanya itu, dia
juga pintar dan sopan. Mungkin itulah alasan kenapa Alvino suka sama
dia. Ya, dalam hatinya Vino mengakui bahwa dia menyukai cewek itu.
Tapi.. dia masih malu untuk mengakuinya secara langsung. Apalagi untuk
mengungkapkan perasaannya itu kepada Tasya.
“Woi!
Bengong aja lo!” Tepukan keras itu mengejutkan Vino dari lamunannya.
Dia langsung menoleh dan mendapati wajah yang tak asing lagi baginya,
Aldi.
“Apa?”
tanya Vino sinis sambil melepas earphone yang sedang menggantung di
telinganya. Jam istirahat seperti ini biasanya Vino dan Aldi sedang
nongkrong di kantin atau di lapangan basket, tapi untuk kali ini Vino
lebih memilih di lokal sambil ngeliatin Tasya. Sebenarnya Vino kasian
juga sama Tasya, sebagai sekretaris kelas dia harus rela nyatatin
catatan yang nggak sedikit itu di papan tulis.
“Idih..
galak amat, bro.” Aldi meraih kursi di samping Vino. Aldi, teman Vino
dari kelas satu. Tapi sekarang mereka udah beda lokal, soalnya Aldi
masuk kelas IPA sementara Vino lebih milih masuk IPS. “Gue cuma mau
ngajakin makan. Nggak laper lo?” tanyanya.
“Nggak!
Udah sono, pergi. Gue mau nyatat, nih. Nggak liat itu catatan banyak
banget di papan tulis.” Gerutu Vino sambil mendorong bahu Aldi.
“Yee..
sok rajin lo!” ucap Aldi kesal sambil menjitak kepala Vino. Sementara
yang di jitak hanya mengusap-usap kepalanya. “Nyatat catatan, atau
ngeliatin yang lagi nyatat?” tanya Aldi usil sambil menaik turunkan
alisnya. Ah, pertanyaan yang tepat sasaran!
“Ya eng-enggak lah. Gue.. gue nyatat, kok.” Jawab Vino dengan gelagapan.
“Eh, Tasya itu cantik, ya.” Bisik Aldi pelan sambil memandangi Tasya. Waduh, alarm tanda bahaya mulai menyala di otak Vino.
“Lo
nggak suka sama dia?” Aldi menoleh ke Vino, kali ini dia terdengar
lebih serius. Suka? Iya, gue suka dia! Teriak Vino di hatinya. Tapi
anehnya bibirnya masih nggak mau bilang, “Iya”. Vino Cuma bisa diam.
“Woi! di tanyain malah ngelamun!” sentak Aldi .
“Enggak!”
jawab Vino reflek. Astaga! kenapa gue bilang Enggak, ya? Hahh.. umpat
Vino dalam hatinya. cowok itu mulai menyesali ke-tidak sinkronan antara
bibir dan otaknya.
“Gue
serius, men. Alvino dewangga, gue tanya sekali lagi, lo suka nggak sama
cewek itu?” tanya Aldi kini dengan penuh penekanan. Kali ini dia tampak
begitu serius. Sementara Vino, cowok itu masih bergulat dengan
fikirannya. Ia ingin menjawab “Iya”, tapi bibirnya terasa kelu untuk
mengatakannya.
“Enggak,
gue nggak suka dia.” Akhirnya kata itu lagi yang keluar. Oke, fix.
Bibir sama otak dan perasaan Vino memang nggak bisa sinkron. kayaknya
dia perlu periksa ke dokter. Dia mulai mencak-mencak dalam hatinya
karena menyesali ucapannya barusan.
“Bagus, deh.” Desis Aldi pelan, namun masih bisa di dengar Vino.
“Hah? Bagus apaan?” tanya Vino penasaran sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Ah, nggak. Itu, tulisan Tasya bagus, ya.. hehehehe..” Aldi cengengesan nggak jelas.
***
17 mei, hari ini ulang tahun Tasya. Vino sudah menyiapkan kado spesial untuk cewek itu. Hari ini Vino sudah bertekat untuk menyatakan perasaanya pada Tasya. akhirnya Vino nggak tahan juga memendam perasaan untuk Tasya. Cinta terpendam itu cukup menyakitkan. Setiap hari kamu mikirin dia, pengen ngomong sama dia, pengen deket sama dia, tapi sayangnya kamu nggak bisa. Mana bikin tumbuh jerawat lagi. Tuh, liat aja di jidat Vino, sekarang udah ada jerawat yang berdiri kokoh seenaknya.
Bel
tanda pulang pun berbunyi, membuat penghuni kelas bersorak senang.
Biasalah, kalo udah bel pulang mah semuanya semangat banget. Nah, ini
dia waktunya Vino menyatakan perasaannya ke Tasya. Dengan penuh
semangat, Vino merogoh tasnya untuk mengambil bunga mawar yang sudah di
siapkannya tadi.
“Alvino,
bisa bantu ibuk sebentar?” suara itu menghentikan gerakan tangan Vino.
Ia melihat ke arah sumber suara yang tak lain adalah buk Lilis, guru
matematikanya yang super tegas itu.
“Iya buk.” Jawabnya pasrah.
“Tolong
bawain buku latihan teman-teman kamu ini ke ruangan ibuk, ya!” Perintah
buk lilis. Vino hanya mengangguk untuk mengiyakan, setelah itu buk
Lilis pun berlalu meninggalkan kelas. Haaahh.. ada aja halangannya.
Keluh cowok itu dalam hatinya.
Vino
mengeluarkan setangkai mawar merah yang masih keliatan fresh, lalu ia
memasukkan bunga itu ke saku celananya. Untung aja tangkainya nggak
panjang-panjang amat, jadinya muat di sakunya. Dan yang terakhir yang
paling penting, selembar puisi yang sudah ia bikin dengan sepenuh hati
sebagai ungkapan cinta untuk Tasya.
“Sya,
kamu masih di lokal, kan? bisa liatin tas aku bentar? Aku mau nganter
buku ini ke ruangan buk Lilis.” Ucap Vino ke Tasya saat dia melewati
meja Tasya. Tasya yang lagi ngobrol dengan temannya pun langsung menatap
Vino dan tersenyum.
“Masih
kok, Vin. Iya, aku jagain deh, tas kamu.” Haduuhh.. suaranya, men..
lembut banget! teriak Vino dalam hatinya. Vino cuma ngangguk dan
tersenyum tipis, lalu mulai jalan keluar kelas. Sebenarnya Vino sengaja
nyuruh Tasya ngeliatin tasnya, supaya cewek itu nggak pulang dulu dan
Vino bisa nembak dia ntar. Sebuah cengiran tergambar di wajah Vino.
***
Setelah menaruh buku-buku itu ke ruangan buk Lilis, Vino pun langsung balik ke kelasnya. Dengan semangat yang menggebu-gebu cowok itu melewati koridor sekolah yang sudah sepi. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia melihat.. Aldi? Ngapain si kunyuk itu ke kelas gue? pikir Vino. Ya, Aldi baru saja masuk ke kelas Vino. Melihat itu, Vino langsung mempercepat jalanya menuju kelas.
“Tasya..
Aku bukan laki-laki yang bisa berkata manis, aku nggak bisa ngomong
yang romantis. Aku Cuma mau bilang kalau.. aku, cinta kamu. Tasya
Hardian Putri, would you be mine?”
DUAR!
Bagaikan tersambar petir, Vino tersentak kaget saat mendengar itu.
Langkahnya terhenti tepat di depan kelas yang menyuguhkan pemandangan
-yang menurut orang-orang- terlihat manis, namun sangat miris untuk
Vino. Aldi, sahabat baiknya itu sekarang sedang berlutut di hadapan
Tasya dan menyatakan cintanya. Astaga! Kenapa dada gue nyeri gini ya
rasanya. Bisik Vino dalam hatinya.
“Iya,
aku mau.” Jawaban Tasya itu semakin memperparah keadaan hati Vino.
Sakit, perih rasanya. Sejenak Vino terdiam, kemudian seulas senyum getir
tergambar di wajahnya. Ia berbalik, ingin pergi meninggalkan kelas ini.
Dia butuh udara segar.
“Vino?”
suara lembut itu menghentikan langkah Vino. Dia kembali membalikkan
tubuhnya dan menatap Tasya. “Kamu mau kemana? Ini tas kamu sama aku.”
kata Tasya sambil menepuk-nepuk tas Vino yang ada di mejanya.
“Oh,
itu, Sya. Aku mau balik ke ruangan buk Lilis. Kayaknya aku kelupaan
sesuatu.” alasan Vino yang jelas-jelas nggak masuk akal.
Sementara
itu, Aldi menatap Vino dengan kaget. Matanya melebar, wajahnya memucat.
Kemudian pandangannya turun ke saku Vino. Lama dia melihatnya, lalu
kembali menatap wajah Vino. Ada semburat sesal di wajah Aldi. Mungkin
dia baru menyadari sesuatu. Vino hanya tersenyum pada Aldi, sambil
mengisyaratkan “Gue nggak apa-apa” yang sepertinya sangat di mengerti
Aldi.
Enggak,
Aldi nggak salah. Gue yang salah. Dulu saat Aldi nanya apa gue suka
sama Tasya, gue jawab Enggak. Jadi nggak salah kan, kalo akhirnya Aldi
nembak Tasya. Batin Vino mencoba menenangkan diri. Vino berusaha
berfikiran jernih, dan mendekati Tasya dan Aldi. “Oh, ya. Ini, lo
kelupaan ini, men.” Ucap Vino ke Aldi sambil menyerahkan setangkai mawar
dari sakunya. Aldi hanya melongo, cowok itu begitu terkejut hingga
bingung untuk bicara apa.
“Ini
Sya, sebenernya tadi Aldi udah nyiapin bunga ini buat kamu, tapi
kayaknya saking gugupnya tadi waktu jalan ke sini bunganya jatuh. Untung
aku yang nemuin. Haha.. maklumin, ya. Temen aku yang satu ini emang
rada-rada ceroboh dan pelupa.” Kali ini Vino bicara pada Tasya. Berbeda
dengan Aldi, Tasya malah tersipu malu. “Selamat ya, kalian akhirnya
jadian. Aku titip sahabat aku ini ya, Sya.” Ucap Vino lagi sambil
tersenyum lebar. Sakit. Hatinya sakit.
Aldi masih terdiam, lalu dia menarik tangan Vino untuk sedikit menjauh. “Men, gue-”
“Gue nggak apa-apa. I’m Okay, dude.” Potong Vino cepat sebelum Aldi menyelesaikan kalimatnya.
“Vino.. kenapa jadi gini? Kenapa lo nggak bilang kalo lo, juga-”
“Gue
apa? Gue nggak kenapa-napa, kok. Sekarang yang pasti lo harus jagain
Tasya.” Potong Vino lagi sambil menepuk-nepuk pelan bahu Aldi.
Setelahnya
Vino langsung menjauh dari Aldi. Menyambar tas yang ada di meja Tasya
dan pamitan untuk pulang duluan. “Gue pulang dulu ya, Di. Noh, lo
anterin Tasya.” Pamit Vino pada Aldi dengan cengiran yang di
paksakannya.
***
Gue nggak apa-apa, gue harus relain semua yang sudah terjadi. Kalimat itulah yang dari tadi terus di ucapkan Vino dalam hatinya. Cowok itu menghela nafas panjang, lalu melangkah dengan tidak bersemangat. Dia menundukkan kepalanya sambil memasukkan tangan ke dalam saku. Tiba-tiba tangannya menyentuh kertas. Kertas? Ah, ini kertas puisi untuk Tasya tadi. Vino mengeluarkan kertas itu dari sakunya.
Namun tiba-tiba..
Prankk..
“Arghh..” Vino meringis kesakitan sambil memegangi dahinya. Dahinya terhantam ke jendela yang tiba-tiba terbuka.
Terdengar
suara kaki yang berlari mendekat. “Aduuh.. maaf.. maaf.. gue nggak
sengaja. Pasti sakit, ya? Mana yang sakit?” tanya suara itu dengan
sangat panik. Vino tidak menjawab, ia masih sibuk mengusap-usap
kepalanya.
“Maaf,
tadi gue Cuma mau bukak jendela kelas, gue nggak tau kalo ada yang lagi
jalan. Pas gue bukak jendelanya, langsung kena kepala lo. maafin gue,
ya.” Suara itu terdengar ketakutan. Vino menghentikan usapannya,
kemudian melihat wajah penuh khawatir dari cewek di hadapannya itu.
Hahh.. jadi tadi kepala gue nabrak jendela? Apes.. apes.. nasib gue apes
bener hari ini. Ck! Sabar.. sabar, Vin. Batin Vino.
“Nggak
apa-apa, kok. Cuman nyeri aja dikit.” Untuk kesekian kalinya hari ini
Vino bilang “Nggak apa-apa” dengan keadaan yang sebenarnya tidak “nggak
apa-apa”. Halah, bikin bingung kan kata-katanya? Entahlah.
“Tapi
itu.. tadi kan keras banget bunyinya. Gue obatin, ya? Aduh, gue
bener-bener nggak enak sama lo.” sesal gadis itu lagi. Kayaknya dia
benar-benar menyesal.
“Udah,
nggak usah. Lo nggak salah sepenuhnya, kok. Gue juga salah, seharusnya
gue bisa lebih hati-hati. Yaudah, gue balik dulu, ya.” Ucap Vino sambil
tersenyum tipis, lalu mulai melangkah meninggalkan cewek itu.
“Tapi..” samar-samar Vino masih mendengar suara cewek itu, namun dia tetap melanjutkan jalannya.
***
Dua hari sudah berlalu semenjak kejadian itu. Vino sudah berusaha untuk melupakan semuanya. Vino berusaha menerima kenyataan bahwa saat ini Tasya sudah menjadi milik Aldi. Jangan berprasangka buruk dulu,Vino dan Aldi masih bersahabat seperti sebelumnya. Sempat Aldi ingin memutuskan Tasya karena merasa tidak enak pada Vino, tapi Vino langsung memarahinya. Enak aja mau nelantarin anak orang, udah di ambil terus di buang gitu aja? Itu bukan laki-laki namanya. Kata Vino pada Aldi saat itu.
Saat ini Vino sedang jalan menuju kelas Aldi, mau mengembalikan kunci motor Aldi yang tadi di pinjamnya.
“Alvino?” suara itu membuat Vino menghentikan langkahnya. Ia menoleh, dan mendapati seorang cewek yang berdiri di belakangnya.
Vino
mengerutkan dahinya, mencoba mengingat cewek yang ada di hadapannya
ini. “Oh, gue yang waktu itu nggak sengaja buka jendela dan.. jendelanya
kenak dahi lo.” Jelasnya -agak takut- saat melihat kerutan tidak
mengerti di dahi Vino. “Mm.. bisa ngomong sebentar?” tanya cewek itu
kemudian. Vino Cuma mengangguk dan mengikuti langkah cewek itu.
“Ini,
buat lo.” cewek itu menyodorkan es krim ke wajah Vino. Saat ini mereka
sudah duduk di taman.
Vino menerima es krim itu, lalu menggumankan
terima kasih. Kemudian cewek itu duduk di sebelah Vino.
“ Mm.. kepala lo gimana? Baik-baik aja kan? kok.. di plester gitu?” suara cewek itu memecahkan hening yang sempat terjadi.
Vino
menoleh, “Gue baik-baik aja, kok. Plester ini Cuma buat nutupin jerawat
gue yang pecah karena terbentur jendela waktu itu. tapi nggak sakit,
kok.” Jelas Vino dengan seulas senyum untuk meyakinkan kalau dia
bener-bener dalam keadaan baik.
Cewek
itu menghela nafas panjang, tampak bias kelegaan dari wajahnya.
“Syukur, deh, Al. Gue takut kalo lo kenapa-napa. Ntar gue bisa di tuntut
lagi.” Ucapnya pelan sambil tersenyum lega.
“Oh, ya.. kok lo tau nama gue?” tanya Vino heran. Sebenarnya sudah dari tadi dia ingin bertanya.
“Ya
tau, lah. 2 minggu yang lalu kaki lo kan pernah keseleo pas main
basket. Kebetulan gue yang jaga UKS. Gue yang ngobatin lo dan bikinin
surat izin ke guru piket. Kebetulan gue kenal Aldi, dan gue nanya nama
lo ke dia. Lo nggak ingat gue ya? Yah, biasa kok. Gue kan Cuma cewek
penunggu UKS. Nggak penting juga buat di ingat. Hahaha..” Jelasnya
panjang lebar sambil tertawa, nggak sadar dengan es krim yang sudah
belepotan di bibirnya. Vino tersenyum geli melihatnya.
“Maaf
ya, gue nggak ingat lo. mungkin waktu itu kaki gue sakit banget.” ucap
Vino nggak enak sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“No
problem.” Cewek itu mengibas-ngibaskan tangannya. “Oh, ya, gue Leyna.
Aleyna.” Dia mengulurkan tangannya. Tanpa tunggu lama, Vino langsung
menerima uluran tangan cewek itu.
“Kalo ada yang sakit, lapor ke gue aja. Insyaallah gue obatin. Hehe..” gadis itu terkekeh.
“Kalo ngobatin luka di hati gue, bisa?” tanya Vino becanda.
“Mm..
tergantung.” Leyna menggantung kalimatnya, membuat Vino menaikkan
sebelah alisnya tanda antusias dan penasaran. “Tergantung, hati lo mau
di obatin apa nggak. Hahaha..” tawanya pecah, membuat Vino ikut tertawa.
Cewek ini cukup menyenangkan. Pikir Vino.
FLASHBACK OFF
“Al,”
suara wanita itu menyadarkan Vino dari lamunan tentang masa SMAnya
tadi. “Kamu kenapa senyum-senyum gitu?” tanyanya lagi sambil mendekati
Vino. Vino berdiri, mensejajarkan posisinya dengan wanita itu.
“Nggak
kenapa-napa, kok. Tadi Aldi nelepon dan ngajakin reunian. Aku cuman
ingat masa-masa SMA dulu, makanya senyum-senyum. hehehe..” Kekeh Vino
sambil mengacak-ngacak rambut wanita itu.
“Oh,
jadi kamu ingat masa-masa SMA? Ingat sama cinta pertama kamu yang
namanya Tasya itu, ya?” tanya wanita itu sinis sambil melipat tangan di
dadanya.
“Yee.. cemburu, ya? Hahaha..” Vino mencubit hidungnya gemas. Wanita itu meringis.
“Iya,
aku ingat dia. Tapi yang bikin aku senyum-senyum itu pas ingat cewek
penjaga UKS yang udah janji ngobatin luka di hati aku.” Ucap Vino sambil
meraih tangan wanita itu. “Dan dia, udah nepatin janjinya.” Lanjut Vino
sambil meletakkan tangan wanita itu tepat di dadanya. “Disini. Lukanya
udah sembuh. Makasih ya, cewek penjaga UKS.” Vino mengelus rambutnya
dengan lembut. Wanita itu tersenyum dan mengangguk.
Ya,
akhirnya si cewek penjaga UKS itu berhasil menyembuhkan luka di hati
Vino. Dan bahkan sekarang memberikan kebahagiaan yang lebih dalam hidup
laki-laki itu. Dia, Aleyna, istrinya.
Penyesalan
adalah hal yang sia-sia. Makanya, kamu harus berani bertindak sebelum
menyesal. Seperti kisah Vino tadi, Vino yang nggak mau jujur dan nggak
berani mengakui cintanya ke Tasya. Dan akhirnya keduluan Aldi. Yah,
untuk apa menyesal dan menyalahkan diri terus? Life must go on, right?
Masih ada masa depan yang menanti kita. Toh, sekarang tuhan memberikan
seorang pendamping yang sangat baik untuk Vino. Itu sudah lebih dari
cukup.
“Oh,
ya. Kamu kenapa bangun?” Vino melirik jam dinding yang sudah
menunjukkan pukul 12 malam.
“Kamu pusing? Perut kamu mual? Ada yang
sakit?” tanya Vino bertubi-tubi.
“Idih.. satu-satu, dong, nanyanya. Aku nggak kenapa-napa. Aku Cuma lagi pengen.. makan pasta. Boleh?” tanya Leyna penuh harap.
“Ya boleh lah, sayang. Aku pesenin dulu, ya.”
“Eh, enggak. Aku nggak mau yang di pesen. Aku mau kamu yang buatin.”
“Apa?” Vino membelalak tidak percaya. Masak? Mana bisa dia masak. Menyentuh dapur saja tidak pernah.
“Iya.
Kenapa? nggak mau? Oh, yaudah. Tapi jangan salahin, kalo setelah lahir
anak kita suka ngences karena kemauannya nggak di turutin.” Leyna
cemberut.
Vino menghela nafas panjang, “Iya... iya.. aku buatin. Tapi nggak jamin rasanya enak. Udah jangan cemberut gitu, ah.”
“Nah, gitu dong. Baru namanya suami siaga. Hahaha..” Leyna tertawa penuh kemenangan.
Nggak
apa-apa deh, gue nyentuh dapur untuk masak. Yang penting wanita gue ini
dan anak kita yang ada di dalam perutnya itu bisa bahagia. Aku ora
popo.. Batin Vino.
=END=
Story line by, Thilmaa
cr pict : http://news.liputan6.com/read/2021060/aku-rapopo-ungkapan-miris-paling-populer-saat-ini
P.S
: Cerpen ini pernah saya ikutkan di lomba menulis kisah inspiratif "Aku
Rapopo" @divapress01. tapi nggak lolos.. :p nggak apa-apa. aku rapopo..
hahaha
Yang penting, nulis wae.. :D
Yang penting, nulis wae.. :D
cerpen ini pernah saya publish di blog saya : https://lforlovelforlife.wordpress.com/2014/05/05/life-must-go-on-right-aku-ora-popo/
Langganan:
Komentar (Atom)

