====================================================
Drrtt.. drrtt..
Drrtt.. drrtt..
Laki-laki
itu meraih ponsel yang bergetar di antara tumpukan berkas di atas
meja. Ya, malam ini dia begadang lagi menyelesaikan pekerjaannya.
Tertera nama Aldi di layar ponsel itu, tanpa tunggu lama dia langsung
menganggakatnya.
“Assalamu’alaikum.”
...
“Iya nih, gue begadang lagi. Ada apa lo telepon gue?”
...
“Reunian? Mm.. oke, gue bisa. Kapan?”
...
“Ah, ya. Gue pasti datang,
kok.”
...
“Oke, Di. Yop, bye.”
Tutt..
sambungan telpon itu terputus. Laki-laki itu meregangkan ototnya yang
terasa kaku, lalu ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Aldi,
temannya semenjak SMA hingga sekarang. Reunian? Mendengar kata itu
membuatnya rindu akan masa SMAnya dulu. “Hahhh.. pengen flashback dulu.”
Gumamnya pelan.
FLASHBACK ON
Cantik.
Satu kata yang menggambarkan seorang Tasya. Cewek yang sedang mencatat
di papan tulis itu bener-bener idaman semua cowok. Nggak hanya itu, dia
juga pintar dan sopan. Mungkin itulah alasan kenapa Alvino suka sama
dia. Ya, dalam hatinya Vino mengakui bahwa dia menyukai cewek itu.
Tapi.. dia masih malu untuk mengakuinya secara langsung. Apalagi untuk
mengungkapkan perasaannya itu kepada Tasya.
“Woi!
Bengong aja lo!” Tepukan keras itu mengejutkan Vino dari lamunannya.
Dia langsung menoleh dan mendapati wajah yang tak asing lagi baginya,
Aldi.
“Apa?”
tanya Vino sinis sambil melepas earphone yang sedang menggantung di
telinganya. Jam istirahat seperti ini biasanya Vino dan Aldi sedang
nongkrong di kantin atau di lapangan basket, tapi untuk kali ini Vino
lebih memilih di lokal sambil ngeliatin Tasya. Sebenarnya Vino kasian
juga sama Tasya, sebagai sekretaris kelas dia harus rela nyatatin
catatan yang nggak sedikit itu di papan tulis.
“Idih..
galak amat, bro.” Aldi meraih kursi di samping Vino. Aldi, teman Vino
dari kelas satu. Tapi sekarang mereka udah beda lokal, soalnya Aldi
masuk kelas IPA sementara Vino lebih milih masuk IPS. “Gue cuma mau
ngajakin makan. Nggak laper lo?” tanyanya.
“Nggak!
Udah sono, pergi. Gue mau nyatat, nih. Nggak liat itu catatan banyak
banget di papan tulis.” Gerutu Vino sambil mendorong bahu Aldi.
“Yee..
sok rajin lo!” ucap Aldi kesal sambil menjitak kepala Vino. Sementara
yang di jitak hanya mengusap-usap kepalanya. “Nyatat catatan, atau
ngeliatin yang lagi nyatat?” tanya Aldi usil sambil menaik turunkan
alisnya. Ah, pertanyaan yang tepat sasaran!
“Ya eng-enggak lah. Gue.. gue nyatat, kok.” Jawab Vino dengan gelagapan.
“Eh, Tasya itu cantik, ya.” Bisik Aldi pelan sambil memandangi Tasya. Waduh, alarm tanda bahaya mulai menyala di otak Vino.
“Lo
nggak suka sama dia?” Aldi menoleh ke Vino, kali ini dia terdengar
lebih serius. Suka? Iya, gue suka dia! Teriak Vino di hatinya. Tapi
anehnya bibirnya masih nggak mau bilang, “Iya”. Vino Cuma bisa diam.
“Woi! di tanyain malah ngelamun!” sentak Aldi .
“Enggak!”
jawab Vino reflek. Astaga! kenapa gue bilang Enggak, ya? Hahh.. umpat
Vino dalam hatinya. cowok itu mulai menyesali ke-tidak sinkronan antara
bibir dan otaknya.
“Gue
serius, men. Alvino dewangga, gue tanya sekali lagi, lo suka nggak sama
cewek itu?” tanya Aldi kini dengan penuh penekanan. Kali ini dia tampak
begitu serius. Sementara Vino, cowok itu masih bergulat dengan
fikirannya. Ia ingin menjawab “Iya”, tapi bibirnya terasa kelu untuk
mengatakannya.
“Enggak,
gue nggak suka dia.” Akhirnya kata itu lagi yang keluar. Oke, fix.
Bibir sama otak dan perasaan Vino memang nggak bisa sinkron. kayaknya
dia perlu periksa ke dokter. Dia mulai mencak-mencak dalam hatinya
karena menyesali ucapannya barusan.
“Bagus, deh.” Desis Aldi pelan, namun masih bisa di dengar Vino.
“Hah? Bagus apaan?” tanya Vino penasaran sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Ah, nggak. Itu, tulisan Tasya bagus, ya.. hehehehe..” Aldi cengengesan nggak jelas.
***
17 mei, hari ini ulang tahun Tasya. Vino sudah menyiapkan kado spesial untuk cewek itu. Hari ini Vino sudah bertekat untuk menyatakan perasaanya pada Tasya. akhirnya Vino nggak tahan juga memendam perasaan untuk Tasya. Cinta terpendam itu cukup menyakitkan. Setiap hari kamu mikirin dia, pengen ngomong sama dia, pengen deket sama dia, tapi sayangnya kamu nggak bisa. Mana bikin tumbuh jerawat lagi. Tuh, liat aja di jidat Vino, sekarang udah ada jerawat yang berdiri kokoh seenaknya.
Bel
tanda pulang pun berbunyi, membuat penghuni kelas bersorak senang.
Biasalah, kalo udah bel pulang mah semuanya semangat banget. Nah, ini
dia waktunya Vino menyatakan perasaannya ke Tasya. Dengan penuh
semangat, Vino merogoh tasnya untuk mengambil bunga mawar yang sudah di
siapkannya tadi.
“Alvino,
bisa bantu ibuk sebentar?” suara itu menghentikan gerakan tangan Vino.
Ia melihat ke arah sumber suara yang tak lain adalah buk Lilis, guru
matematikanya yang super tegas itu.
“Iya buk.” Jawabnya pasrah.
“Tolong
bawain buku latihan teman-teman kamu ini ke ruangan ibuk, ya!” Perintah
buk lilis. Vino hanya mengangguk untuk mengiyakan, setelah itu buk
Lilis pun berlalu meninggalkan kelas. Haaahh.. ada aja halangannya.
Keluh cowok itu dalam hatinya.
Vino
mengeluarkan setangkai mawar merah yang masih keliatan fresh, lalu ia
memasukkan bunga itu ke saku celananya. Untung aja tangkainya nggak
panjang-panjang amat, jadinya muat di sakunya. Dan yang terakhir yang
paling penting, selembar puisi yang sudah ia bikin dengan sepenuh hati
sebagai ungkapan cinta untuk Tasya.
“Sya,
kamu masih di lokal, kan? bisa liatin tas aku bentar? Aku mau nganter
buku ini ke ruangan buk Lilis.” Ucap Vino ke Tasya saat dia melewati
meja Tasya. Tasya yang lagi ngobrol dengan temannya pun langsung menatap
Vino dan tersenyum.
“Masih
kok, Vin. Iya, aku jagain deh, tas kamu.” Haduuhh.. suaranya, men..
lembut banget! teriak Vino dalam hatinya. Vino cuma ngangguk dan
tersenyum tipis, lalu mulai jalan keluar kelas. Sebenarnya Vino sengaja
nyuruh Tasya ngeliatin tasnya, supaya cewek itu nggak pulang dulu dan
Vino bisa nembak dia ntar. Sebuah cengiran tergambar di wajah Vino.
***
Setelah menaruh buku-buku itu ke ruangan buk Lilis, Vino pun langsung balik ke kelasnya. Dengan semangat yang menggebu-gebu cowok itu melewati koridor sekolah yang sudah sepi. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia melihat.. Aldi? Ngapain si kunyuk itu ke kelas gue? pikir Vino. Ya, Aldi baru saja masuk ke kelas Vino. Melihat itu, Vino langsung mempercepat jalanya menuju kelas.
“Tasya..
Aku bukan laki-laki yang bisa berkata manis, aku nggak bisa ngomong
yang romantis. Aku Cuma mau bilang kalau.. aku, cinta kamu. Tasya
Hardian Putri, would you be mine?”
DUAR!
Bagaikan tersambar petir, Vino tersentak kaget saat mendengar itu.
Langkahnya terhenti tepat di depan kelas yang menyuguhkan pemandangan
-yang menurut orang-orang- terlihat manis, namun sangat miris untuk
Vino. Aldi, sahabat baiknya itu sekarang sedang berlutut di hadapan
Tasya dan menyatakan cintanya. Astaga! Kenapa dada gue nyeri gini ya
rasanya. Bisik Vino dalam hatinya.
“Iya,
aku mau.” Jawaban Tasya itu semakin memperparah keadaan hati Vino.
Sakit, perih rasanya. Sejenak Vino terdiam, kemudian seulas senyum getir
tergambar di wajahnya. Ia berbalik, ingin pergi meninggalkan kelas ini.
Dia butuh udara segar.
“Vino?”
suara lembut itu menghentikan langkah Vino. Dia kembali membalikkan
tubuhnya dan menatap Tasya. “Kamu mau kemana? Ini tas kamu sama aku.”
kata Tasya sambil menepuk-nepuk tas Vino yang ada di mejanya.
“Oh,
itu, Sya. Aku mau balik ke ruangan buk Lilis. Kayaknya aku kelupaan
sesuatu.” alasan Vino yang jelas-jelas nggak masuk akal.
Sementara
itu, Aldi menatap Vino dengan kaget. Matanya melebar, wajahnya memucat.
Kemudian pandangannya turun ke saku Vino. Lama dia melihatnya, lalu
kembali menatap wajah Vino. Ada semburat sesal di wajah Aldi. Mungkin
dia baru menyadari sesuatu. Vino hanya tersenyum pada Aldi, sambil
mengisyaratkan “Gue nggak apa-apa” yang sepertinya sangat di mengerti
Aldi.
Enggak,
Aldi nggak salah. Gue yang salah. Dulu saat Aldi nanya apa gue suka
sama Tasya, gue jawab Enggak. Jadi nggak salah kan, kalo akhirnya Aldi
nembak Tasya. Batin Vino mencoba menenangkan diri. Vino berusaha
berfikiran jernih, dan mendekati Tasya dan Aldi. “Oh, ya. Ini, lo
kelupaan ini, men.” Ucap Vino ke Aldi sambil menyerahkan setangkai mawar
dari sakunya. Aldi hanya melongo, cowok itu begitu terkejut hingga
bingung untuk bicara apa.
“Ini
Sya, sebenernya tadi Aldi udah nyiapin bunga ini buat kamu, tapi
kayaknya saking gugupnya tadi waktu jalan ke sini bunganya jatuh. Untung
aku yang nemuin. Haha.. maklumin, ya. Temen aku yang satu ini emang
rada-rada ceroboh dan pelupa.” Kali ini Vino bicara pada Tasya. Berbeda
dengan Aldi, Tasya malah tersipu malu. “Selamat ya, kalian akhirnya
jadian. Aku titip sahabat aku ini ya, Sya.” Ucap Vino lagi sambil
tersenyum lebar. Sakit. Hatinya sakit.
Aldi masih terdiam, lalu dia menarik tangan Vino untuk sedikit menjauh. “Men, gue-”
“Gue nggak apa-apa. I’m Okay, dude.” Potong Vino cepat sebelum Aldi menyelesaikan kalimatnya.
“Vino.. kenapa jadi gini? Kenapa lo nggak bilang kalo lo, juga-”
“Gue
apa? Gue nggak kenapa-napa, kok. Sekarang yang pasti lo harus jagain
Tasya.” Potong Vino lagi sambil menepuk-nepuk pelan bahu Aldi.
Setelahnya
Vino langsung menjauh dari Aldi. Menyambar tas yang ada di meja Tasya
dan pamitan untuk pulang duluan. “Gue pulang dulu ya, Di. Noh, lo
anterin Tasya.” Pamit Vino pada Aldi dengan cengiran yang di
paksakannya.
***
Gue nggak apa-apa, gue harus relain semua yang sudah terjadi. Kalimat itulah yang dari tadi terus di ucapkan Vino dalam hatinya. Cowok itu menghela nafas panjang, lalu melangkah dengan tidak bersemangat. Dia menundukkan kepalanya sambil memasukkan tangan ke dalam saku. Tiba-tiba tangannya menyentuh kertas. Kertas? Ah, ini kertas puisi untuk Tasya tadi. Vino mengeluarkan kertas itu dari sakunya.
Namun tiba-tiba..
Prankk..
“Arghh..” Vino meringis kesakitan sambil memegangi dahinya. Dahinya terhantam ke jendela yang tiba-tiba terbuka.
Terdengar
suara kaki yang berlari mendekat. “Aduuh.. maaf.. maaf.. gue nggak
sengaja. Pasti sakit, ya? Mana yang sakit?” tanya suara itu dengan
sangat panik. Vino tidak menjawab, ia masih sibuk mengusap-usap
kepalanya.
“Maaf,
tadi gue Cuma mau bukak jendela kelas, gue nggak tau kalo ada yang lagi
jalan. Pas gue bukak jendelanya, langsung kena kepala lo. maafin gue,
ya.” Suara itu terdengar ketakutan. Vino menghentikan usapannya,
kemudian melihat wajah penuh khawatir dari cewek di hadapannya itu.
Hahh.. jadi tadi kepala gue nabrak jendela? Apes.. apes.. nasib gue apes
bener hari ini. Ck! Sabar.. sabar, Vin. Batin Vino.
“Nggak
apa-apa, kok. Cuman nyeri aja dikit.” Untuk kesekian kalinya hari ini
Vino bilang “Nggak apa-apa” dengan keadaan yang sebenarnya tidak “nggak
apa-apa”. Halah, bikin bingung kan kata-katanya? Entahlah.
“Tapi
itu.. tadi kan keras banget bunyinya. Gue obatin, ya? Aduh, gue
bener-bener nggak enak sama lo.” sesal gadis itu lagi. Kayaknya dia
benar-benar menyesal.
“Udah,
nggak usah. Lo nggak salah sepenuhnya, kok. Gue juga salah, seharusnya
gue bisa lebih hati-hati. Yaudah, gue balik dulu, ya.” Ucap Vino sambil
tersenyum tipis, lalu mulai melangkah meninggalkan cewek itu.
“Tapi..” samar-samar Vino masih mendengar suara cewek itu, namun dia tetap melanjutkan jalannya.
***
Dua hari sudah berlalu semenjak kejadian itu. Vino sudah berusaha untuk melupakan semuanya. Vino berusaha menerima kenyataan bahwa saat ini Tasya sudah menjadi milik Aldi. Jangan berprasangka buruk dulu,Vino dan Aldi masih bersahabat seperti sebelumnya. Sempat Aldi ingin memutuskan Tasya karena merasa tidak enak pada Vino, tapi Vino langsung memarahinya. Enak aja mau nelantarin anak orang, udah di ambil terus di buang gitu aja? Itu bukan laki-laki namanya. Kata Vino pada Aldi saat itu.
Saat ini Vino sedang jalan menuju kelas Aldi, mau mengembalikan kunci motor Aldi yang tadi di pinjamnya.
“Alvino?” suara itu membuat Vino menghentikan langkahnya. Ia menoleh, dan mendapati seorang cewek yang berdiri di belakangnya.
Vino
mengerutkan dahinya, mencoba mengingat cewek yang ada di hadapannya
ini. “Oh, gue yang waktu itu nggak sengaja buka jendela dan.. jendelanya
kenak dahi lo.” Jelasnya -agak takut- saat melihat kerutan tidak
mengerti di dahi Vino. “Mm.. bisa ngomong sebentar?” tanya cewek itu
kemudian. Vino Cuma mengangguk dan mengikuti langkah cewek itu.
“Ini,
buat lo.” cewek itu menyodorkan es krim ke wajah Vino. Saat ini mereka
sudah duduk di taman.
Vino menerima es krim itu, lalu menggumankan
terima kasih. Kemudian cewek itu duduk di sebelah Vino.
“ Mm.. kepala lo gimana? Baik-baik aja kan? kok.. di plester gitu?” suara cewek itu memecahkan hening yang sempat terjadi.
Vino
menoleh, “Gue baik-baik aja, kok. Plester ini Cuma buat nutupin jerawat
gue yang pecah karena terbentur jendela waktu itu. tapi nggak sakit,
kok.” Jelas Vino dengan seulas senyum untuk meyakinkan kalau dia
bener-bener dalam keadaan baik.
Cewek
itu menghela nafas panjang, tampak bias kelegaan dari wajahnya.
“Syukur, deh, Al. Gue takut kalo lo kenapa-napa. Ntar gue bisa di tuntut
lagi.” Ucapnya pelan sambil tersenyum lega.
“Oh, ya.. kok lo tau nama gue?” tanya Vino heran. Sebenarnya sudah dari tadi dia ingin bertanya.
“Ya
tau, lah. 2 minggu yang lalu kaki lo kan pernah keseleo pas main
basket. Kebetulan gue yang jaga UKS. Gue yang ngobatin lo dan bikinin
surat izin ke guru piket. Kebetulan gue kenal Aldi, dan gue nanya nama
lo ke dia. Lo nggak ingat gue ya? Yah, biasa kok. Gue kan Cuma cewek
penunggu UKS. Nggak penting juga buat di ingat. Hahaha..” Jelasnya
panjang lebar sambil tertawa, nggak sadar dengan es krim yang sudah
belepotan di bibirnya. Vino tersenyum geli melihatnya.
“Maaf
ya, gue nggak ingat lo. mungkin waktu itu kaki gue sakit banget.” ucap
Vino nggak enak sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“No
problem.” Cewek itu mengibas-ngibaskan tangannya. “Oh, ya, gue Leyna.
Aleyna.” Dia mengulurkan tangannya. Tanpa tunggu lama, Vino langsung
menerima uluran tangan cewek itu.
“Kalo ada yang sakit, lapor ke gue aja. Insyaallah gue obatin. Hehe..” gadis itu terkekeh.
“Kalo ngobatin luka di hati gue, bisa?” tanya Vino becanda.
“Mm..
tergantung.” Leyna menggantung kalimatnya, membuat Vino menaikkan
sebelah alisnya tanda antusias dan penasaran. “Tergantung, hati lo mau
di obatin apa nggak. Hahaha..” tawanya pecah, membuat Vino ikut tertawa.
Cewek ini cukup menyenangkan. Pikir Vino.
FLASHBACK OFF
“Al,”
suara wanita itu menyadarkan Vino dari lamunan tentang masa SMAnya
tadi. “Kamu kenapa senyum-senyum gitu?” tanyanya lagi sambil mendekati
Vino. Vino berdiri, mensejajarkan posisinya dengan wanita itu.
“Nggak
kenapa-napa, kok. Tadi Aldi nelepon dan ngajakin reunian. Aku cuman
ingat masa-masa SMA dulu, makanya senyum-senyum. hehehe..” Kekeh Vino
sambil mengacak-ngacak rambut wanita itu.
“Oh,
jadi kamu ingat masa-masa SMA? Ingat sama cinta pertama kamu yang
namanya Tasya itu, ya?” tanya wanita itu sinis sambil melipat tangan di
dadanya.
“Yee.. cemburu, ya? Hahaha..” Vino mencubit hidungnya gemas. Wanita itu meringis.
“Iya,
aku ingat dia. Tapi yang bikin aku senyum-senyum itu pas ingat cewek
penjaga UKS yang udah janji ngobatin luka di hati aku.” Ucap Vino sambil
meraih tangan wanita itu. “Dan dia, udah nepatin janjinya.” Lanjut Vino
sambil meletakkan tangan wanita itu tepat di dadanya. “Disini. Lukanya
udah sembuh. Makasih ya, cewek penjaga UKS.” Vino mengelus rambutnya
dengan lembut. Wanita itu tersenyum dan mengangguk.
Ya,
akhirnya si cewek penjaga UKS itu berhasil menyembuhkan luka di hati
Vino. Dan bahkan sekarang memberikan kebahagiaan yang lebih dalam hidup
laki-laki itu. Dia, Aleyna, istrinya.
Penyesalan
adalah hal yang sia-sia. Makanya, kamu harus berani bertindak sebelum
menyesal. Seperti kisah Vino tadi, Vino yang nggak mau jujur dan nggak
berani mengakui cintanya ke Tasya. Dan akhirnya keduluan Aldi. Yah,
untuk apa menyesal dan menyalahkan diri terus? Life must go on, right?
Masih ada masa depan yang menanti kita. Toh, sekarang tuhan memberikan
seorang pendamping yang sangat baik untuk Vino. Itu sudah lebih dari
cukup.
“Oh,
ya. Kamu kenapa bangun?” Vino melirik jam dinding yang sudah
menunjukkan pukul 12 malam.
“Kamu pusing? Perut kamu mual? Ada yang
sakit?” tanya Vino bertubi-tubi.
“Idih.. satu-satu, dong, nanyanya. Aku nggak kenapa-napa. Aku Cuma lagi pengen.. makan pasta. Boleh?” tanya Leyna penuh harap.
“Ya boleh lah, sayang. Aku pesenin dulu, ya.”
“Eh, enggak. Aku nggak mau yang di pesen. Aku mau kamu yang buatin.”
“Apa?” Vino membelalak tidak percaya. Masak? Mana bisa dia masak. Menyentuh dapur saja tidak pernah.
“Iya.
Kenapa? nggak mau? Oh, yaudah. Tapi jangan salahin, kalo setelah lahir
anak kita suka ngences karena kemauannya nggak di turutin.” Leyna
cemberut.
Vino menghela nafas panjang, “Iya... iya.. aku buatin. Tapi nggak jamin rasanya enak. Udah jangan cemberut gitu, ah.”
“Nah, gitu dong. Baru namanya suami siaga. Hahaha..” Leyna tertawa penuh kemenangan.
Nggak
apa-apa deh, gue nyentuh dapur untuk masak. Yang penting wanita gue ini
dan anak kita yang ada di dalam perutnya itu bisa bahagia. Aku ora
popo.. Batin Vino.
=END=
Story line by, Thilmaa
cr pict : http://news.liputan6.com/read/2021060/aku-rapopo-ungkapan-miris-paling-populer-saat-ini
P.S
: Cerpen ini pernah saya ikutkan di lomba menulis kisah inspiratif "Aku
Rapopo" @divapress01. tapi nggak lolos.. :p nggak apa-apa. aku rapopo..
hahaha
Yang penting, nulis wae.. :D
Yang penting, nulis wae.. :D
cerpen ini pernah saya publish di blog saya : https://lforlovelforlife.wordpress.com/2014/05/05/life-must-go-on-right-aku-ora-popo/

Tidak ada komentar:
Posting Komentar