Rabu, 11 Februari 2015

Life Must Go on, right? Aku Ora Popo..



@tilmaa
====================================================
Drrtt.. drrtt..

Laki-laki itu meraih ponsel yang bergetar di antara tumpukan berkas di atas meja. Ya, malam ini dia begadang lagi menyelesaikan  pekerjaannya. Tertera nama Aldi di layar ponsel itu, tanpa tunggu lama dia langsung menganggakatnya.

“Assalamu’alaikum.”
 ... 
 “Iya nih, gue begadang lagi. Ada apa lo telepon gue?”
  ...
  “Reunian? Mm.. oke, gue bisa. Kapan?” 
 ...
  “Ah, ya. Gue pasti datang, kok.”
 ...
 “Oke, Di. Yop, bye.”

Tutt.. sambungan telpon itu terputus. Laki-laki itu meregangkan ototnya yang terasa kaku, lalu ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Aldi, temannya semenjak SMA hingga sekarang. Reunian? Mendengar kata itu membuatnya rindu akan masa SMAnya dulu. “Hahhh.. pengen flashback dulu.” Gumamnya pelan.

FLASHBACK ON

Cantik. Satu kata yang menggambarkan seorang Tasya. Cewek yang sedang mencatat di papan tulis itu bener-bener idaman semua cowok. Nggak hanya itu, dia juga pintar dan sopan. Mungkin itulah alasan kenapa Alvino suka sama dia. Ya, dalam hatinya Vino mengakui bahwa dia menyukai cewek itu. Tapi.. dia masih malu untuk mengakuinya secara langsung. Apalagi untuk mengungkapkan perasaannya itu kepada Tasya.

“Woi! Bengong aja lo!” Tepukan keras itu mengejutkan Vino dari lamunannya. Dia langsung menoleh dan mendapati wajah yang tak asing lagi baginya, Aldi.

“Apa?” tanya Vino sinis sambil melepas earphone yang sedang menggantung di telinganya. Jam istirahat seperti ini biasanya Vino dan Aldi sedang nongkrong di kantin atau di lapangan basket, tapi untuk kali ini Vino lebih memilih di lokal sambil ngeliatin Tasya. Sebenarnya Vino kasian juga sama Tasya, sebagai sekretaris kelas dia harus rela nyatatin catatan yang nggak sedikit itu di papan tulis.

“Idih.. galak amat, bro.” Aldi meraih kursi di samping Vino. Aldi, teman Vino dari kelas satu. Tapi sekarang mereka udah beda lokal, soalnya Aldi masuk kelas IPA sementara Vino lebih milih masuk IPS. “Gue cuma mau ngajakin makan. Nggak laper lo?” tanyanya.

“Nggak! Udah sono, pergi. Gue mau nyatat, nih. Nggak liat itu catatan banyak banget di papan tulis.” Gerutu Vino sambil mendorong bahu Aldi.

“Yee.. sok rajin lo!” ucap Aldi kesal sambil menjitak kepala Vino. Sementara yang di jitak hanya mengusap-usap kepalanya. “Nyatat catatan, atau ngeliatin yang lagi nyatat?” tanya Aldi usil sambil menaik turunkan alisnya. Ah, pertanyaan yang tepat sasaran!

“Ya eng-enggak lah. Gue.. gue nyatat, kok.” Jawab Vino dengan gelagapan.

“Eh, Tasya itu cantik, ya.” Bisik Aldi pelan sambil memandangi Tasya. Waduh, alarm tanda bahaya mulai menyala di otak Vino.

“Lo nggak suka sama dia?” Aldi menoleh ke Vino, kali ini dia terdengar lebih serius. Suka? Iya, gue suka dia! Teriak Vino di hatinya. Tapi anehnya bibirnya masih nggak mau bilang, “Iya”. Vino Cuma bisa diam. “Woi! di tanyain malah ngelamun!” sentak Aldi .

“Enggak!” jawab Vino reflek. Astaga! kenapa gue bilang Enggak, ya? Hahh.. umpat Vino dalam hatinya. cowok itu mulai menyesali ke-tidak sinkronan antara bibir dan otaknya.

“Gue serius, men. Alvino dewangga, gue tanya sekali lagi, lo suka nggak sama cewek itu?” tanya Aldi kini dengan penuh penekanan. Kali ini dia tampak begitu serius. Sementara Vino, cowok itu masih bergulat dengan fikirannya. Ia ingin menjawab “Iya”, tapi bibirnya terasa kelu untuk mengatakannya.

“Enggak, gue nggak suka dia.” Akhirnya kata itu lagi yang keluar. Oke, fix. Bibir sama otak dan perasaan Vino memang nggak bisa sinkron. kayaknya dia perlu periksa ke dokter. Dia mulai mencak-mencak dalam hatinya karena menyesali ucapannya barusan.

“Bagus, deh.” Desis Aldi pelan, namun masih bisa di dengar Vino.

“Hah? Bagus apaan?” tanya Vino penasaran sambil mengangkat sebelah alisnya.

“Ah, nggak. Itu, tulisan Tasya bagus, ya.. hehehehe..” Aldi cengengesan nggak jelas.

***

17 mei, hari ini ulang tahun Tasya. Vino sudah menyiapkan kado spesial untuk cewek itu. Hari ini Vino sudah bertekat untuk menyatakan perasaanya pada Tasya. akhirnya Vino nggak tahan juga memendam perasaan untuk Tasya. Cinta terpendam itu cukup menyakitkan. Setiap hari kamu mikirin dia, pengen ngomong sama dia, pengen deket sama dia, tapi sayangnya kamu nggak bisa. Mana bikin tumbuh jerawat lagi. Tuh, liat aja di jidat Vino, sekarang udah ada jerawat yang berdiri kokoh seenaknya.

Bel tanda pulang pun berbunyi, membuat penghuni kelas bersorak senang. Biasalah, kalo udah bel pulang mah semuanya semangat banget. Nah, ini dia waktunya Vino menyatakan perasaannya ke Tasya. Dengan penuh semangat, Vino merogoh tasnya untuk mengambil bunga mawar yang sudah di siapkannya tadi.

“Alvino, bisa bantu ibuk sebentar?” suara itu menghentikan gerakan tangan Vino. Ia melihat ke arah sumber suara yang tak lain adalah buk Lilis, guru matematikanya yang super tegas itu.

“Iya buk.” Jawabnya pasrah.

“Tolong bawain buku latihan teman-teman kamu ini ke ruangan ibuk, ya!” Perintah buk lilis. Vino hanya mengangguk untuk mengiyakan, setelah itu buk Lilis pun berlalu meninggalkan kelas. Haaahh.. ada aja halangannya. Keluh cowok itu dalam hatinya.

Vino mengeluarkan setangkai mawar merah yang masih keliatan fresh, lalu ia memasukkan bunga itu ke saku celananya. Untung aja tangkainya nggak panjang-panjang amat, jadinya muat di sakunya. Dan yang terakhir yang paling penting, selembar puisi yang sudah ia bikin dengan sepenuh hati sebagai ungkapan cinta untuk Tasya.

“Sya, kamu masih di lokal, kan? bisa liatin tas aku bentar? Aku mau nganter buku ini ke ruangan buk Lilis.” Ucap Vino ke Tasya saat dia melewati meja Tasya. Tasya yang lagi ngobrol dengan temannya pun langsung menatap Vino dan tersenyum.

“Masih kok, Vin. Iya, aku jagain deh, tas kamu.” Haduuhh.. suaranya, men.. lembut banget! teriak Vino dalam hatinya. Vino cuma ngangguk dan tersenyum tipis, lalu mulai jalan keluar kelas. Sebenarnya Vino sengaja nyuruh Tasya ngeliatin tasnya, supaya cewek itu nggak pulang dulu dan Vino bisa nembak dia ntar. Sebuah cengiran tergambar di wajah Vino.

***

Setelah menaruh buku-buku itu ke ruangan buk Lilis, Vino pun langsung balik ke kelasnya. Dengan semangat yang menggebu-gebu cowok itu melewati koridor sekolah yang sudah sepi. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia melihat.. Aldi? Ngapain si kunyuk itu ke kelas gue? pikir Vino. Ya, Aldi baru saja masuk ke kelas Vino. Melihat itu, Vino langsung mempercepat jalanya menuju kelas.

“Tasya.. Aku bukan laki-laki yang bisa berkata manis, aku nggak bisa ngomong yang romantis. Aku Cuma mau bilang kalau.. aku, cinta kamu. Tasya Hardian Putri, would you be mine?”

DUAR! Bagaikan tersambar petir, Vino tersentak kaget saat mendengar itu. Langkahnya terhenti tepat di depan kelas yang menyuguhkan pemandangan -yang menurut orang-orang- terlihat manis, namun sangat miris untuk Vino. Aldi, sahabat baiknya itu sekarang sedang berlutut di hadapan Tasya dan menyatakan cintanya. Astaga! Kenapa dada gue nyeri gini ya rasanya. Bisik Vino dalam hatinya.

“Iya, aku mau.” Jawaban Tasya itu semakin memperparah keadaan hati Vino. Sakit, perih rasanya. Sejenak Vino terdiam, kemudian seulas senyum getir tergambar di wajahnya. Ia berbalik, ingin pergi meninggalkan kelas ini. Dia butuh udara segar.

“Vino?” suara lembut itu menghentikan langkah Vino. Dia kembali membalikkan tubuhnya dan menatap Tasya. “Kamu mau kemana? Ini tas kamu sama aku.” kata Tasya sambil menepuk-nepuk tas Vino yang ada di mejanya.

“Oh, itu, Sya. Aku mau balik ke ruangan buk Lilis. Kayaknya aku kelupaan sesuatu.” alasan Vino yang jelas-jelas nggak masuk akal.

Sementara itu, Aldi menatap Vino dengan kaget. Matanya melebar, wajahnya memucat. Kemudian pandangannya turun ke saku Vino. Lama dia melihatnya, lalu kembali menatap wajah Vino. Ada semburat sesal di wajah Aldi. Mungkin dia baru menyadari sesuatu. Vino hanya tersenyum pada Aldi, sambil mengisyaratkan “Gue nggak apa-apa” yang sepertinya sangat di mengerti Aldi.

Enggak, Aldi nggak salah. Gue yang salah. Dulu saat Aldi nanya apa gue suka sama Tasya, gue jawab Enggak. Jadi nggak salah kan, kalo akhirnya Aldi nembak Tasya. Batin Vino mencoba menenangkan diri. Vino berusaha berfikiran jernih, dan mendekati Tasya dan Aldi. “Oh, ya. Ini, lo kelupaan ini, men.” Ucap Vino ke Aldi sambil menyerahkan setangkai mawar dari sakunya. Aldi hanya melongo, cowok itu begitu terkejut hingga bingung untuk bicara apa.

“Ini Sya, sebenernya tadi Aldi udah nyiapin bunga ini buat kamu, tapi kayaknya saking gugupnya tadi waktu jalan ke sini bunganya jatuh. Untung aku yang nemuin. Haha.. maklumin, ya. Temen aku yang satu ini emang rada-rada ceroboh dan pelupa.” Kali ini Vino bicara pada Tasya. Berbeda dengan Aldi, Tasya malah tersipu malu. “Selamat ya, kalian akhirnya jadian. Aku titip sahabat aku ini ya, Sya.” Ucap Vino lagi sambil tersenyum lebar. Sakit. Hatinya sakit.
Aldi masih terdiam, lalu dia menarik tangan Vino untuk sedikit menjauh. “Men, gue-”

“Gue nggak apa-apa. I’m Okay, dude.” Potong Vino cepat sebelum Aldi menyelesaikan kalimatnya.

“Vino.. kenapa jadi gini? Kenapa lo nggak bilang kalo lo, juga-”

“Gue apa? Gue nggak kenapa-napa, kok. Sekarang yang pasti lo harus jagain Tasya.” Potong Vino lagi sambil menepuk-nepuk pelan bahu Aldi.

Setelahnya Vino langsung menjauh dari Aldi. Menyambar tas yang ada di meja Tasya dan pamitan untuk pulang duluan. “Gue pulang dulu ya, Di. Noh, lo anterin Tasya.” Pamit Vino pada Aldi dengan cengiran yang di paksakannya.

***

Gue nggak apa-apa, gue harus relain semua yang sudah terjadi. Kalimat itulah yang dari tadi terus di ucapkan Vino dalam hatinya. Cowok itu menghela nafas panjang, lalu melangkah dengan tidak bersemangat. Dia menundukkan kepalanya sambil memasukkan tangan ke dalam saku. Tiba-tiba tangannya menyentuh kertas. Kertas? Ah, ini kertas puisi untuk Tasya tadi. Vino mengeluarkan kertas itu dari sakunya.

Namun tiba-tiba..

Prankk..

“Arghh..” Vino meringis kesakitan sambil memegangi dahinya. Dahinya terhantam ke jendela yang tiba-tiba terbuka.

Terdengar suara kaki yang berlari mendekat. “Aduuh.. maaf.. maaf.. gue nggak sengaja. Pasti sakit, ya? Mana yang sakit?” tanya suara itu dengan sangat panik. Vino tidak menjawab, ia masih sibuk mengusap-usap kepalanya.

“Maaf, tadi gue Cuma mau bukak jendela kelas, gue nggak tau kalo ada yang lagi jalan. Pas gue bukak jendelanya, langsung kena kepala lo. maafin gue, ya.” Suara itu terdengar ketakutan. Vino menghentikan usapannya, kemudian melihat wajah penuh khawatir dari cewek di hadapannya itu. 

Hahh.. jadi tadi kepala gue nabrak jendela? Apes.. apes.. nasib gue apes bener hari ini. Ck! Sabar.. sabar, Vin. Batin Vino.

“Nggak apa-apa, kok. Cuman nyeri aja dikit.” Untuk kesekian kalinya hari ini Vino bilang “Nggak apa-apa” dengan keadaan yang sebenarnya tidak “nggak apa-apa”. Halah, bikin bingung kan kata-katanya? Entahlah.

“Tapi itu.. tadi kan keras banget bunyinya. Gue obatin, ya? Aduh, gue bener-bener nggak enak sama lo.” sesal gadis itu lagi. Kayaknya dia benar-benar menyesal.

“Udah, nggak usah. Lo nggak salah sepenuhnya, kok. Gue juga salah, seharusnya gue bisa lebih hati-hati. Yaudah, gue balik dulu, ya.” Ucap Vino sambil tersenyum tipis, lalu mulai melangkah meninggalkan cewek itu.

“Tapi..” samar-samar Vino masih mendengar suara cewek itu, namun dia tetap melanjutkan jalannya.

***

Dua hari sudah berlalu semenjak kejadian itu. Vino sudah berusaha untuk melupakan semuanya. Vino berusaha menerima kenyataan bahwa saat ini Tasya sudah menjadi milik Aldi. Jangan berprasangka buruk dulu,Vino dan Aldi masih bersahabat seperti sebelumnya. Sempat Aldi ingin memutuskan Tasya karena merasa tidak enak pada Vino, tapi Vino langsung memarahinya. Enak aja mau nelantarin anak orang, udah di ambil terus di buang gitu aja? Itu bukan laki-laki namanya. Kata Vino pada Aldi saat itu.
Saat ini Vino sedang jalan menuju kelas Aldi, mau mengembalikan kunci motor Aldi yang tadi di pinjamnya.

“Alvino?” suara itu membuat Vino menghentikan langkahnya. Ia menoleh, dan mendapati seorang cewek yang berdiri di belakangnya.

Vino mengerutkan dahinya, mencoba mengingat cewek yang ada di hadapannya ini. “Oh, gue yang waktu itu nggak sengaja buka jendela dan.. jendelanya kenak dahi lo.” Jelasnya -agak takut- saat melihat kerutan tidak mengerti di dahi Vino. “Mm.. bisa ngomong sebentar?” tanya cewek itu kemudian. Vino Cuma mengangguk dan mengikuti langkah cewek itu.

“Ini, buat lo.” cewek itu menyodorkan es krim ke wajah Vino. Saat ini mereka sudah duduk di taman. 

Vino menerima es krim itu, lalu menggumankan terima kasih. Kemudian cewek itu duduk di sebelah Vino.

“ Mm.. kepala lo gimana? Baik-baik aja kan? kok.. di plester gitu?” suara cewek itu memecahkan hening yang sempat terjadi.

Vino menoleh, “Gue baik-baik aja, kok. Plester ini Cuma buat nutupin jerawat gue yang pecah karena terbentur jendela waktu itu. tapi nggak sakit, kok.” Jelas Vino dengan seulas senyum untuk meyakinkan kalau dia bener-bener dalam keadaan baik.

Cewek itu menghela nafas panjang, tampak bias kelegaan dari wajahnya. “Syukur, deh, Al. Gue takut kalo lo kenapa-napa. Ntar gue bisa di tuntut lagi.” Ucapnya pelan sambil tersenyum lega.

“Oh, ya.. kok lo tau nama gue?” tanya Vino heran. Sebenarnya sudah dari tadi dia ingin bertanya.

“Ya tau, lah. 2 minggu yang lalu kaki lo kan pernah keseleo pas main basket. Kebetulan gue yang jaga UKS. Gue yang ngobatin lo dan bikinin surat izin ke guru piket. Kebetulan gue kenal Aldi, dan gue nanya nama lo ke dia. Lo nggak ingat gue ya? Yah, biasa kok. Gue kan Cuma cewek penunggu UKS. Nggak penting juga buat di ingat. Hahaha..” Jelasnya panjang lebar sambil tertawa, nggak sadar dengan es krim yang sudah belepotan di bibirnya. Vino tersenyum geli melihatnya.

“Maaf ya, gue nggak ingat lo. mungkin waktu itu kaki gue sakit banget.” ucap Vino nggak enak sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“No problem.” Cewek itu mengibas-ngibaskan tangannya. “Oh, ya, gue Leyna. Aleyna.” Dia mengulurkan tangannya. Tanpa tunggu lama, Vino langsung menerima uluran tangan cewek itu.

“Kalo ada yang sakit, lapor ke gue aja. Insyaallah gue obatin. Hehe..” gadis itu terkekeh.

“Kalo ngobatin luka di hati gue, bisa?” tanya Vino becanda.

“Mm.. tergantung.” Leyna menggantung kalimatnya, membuat Vino menaikkan sebelah alisnya tanda antusias dan penasaran. “Tergantung, hati lo mau di obatin apa nggak. Hahaha..” tawanya pecah, membuat Vino ikut tertawa. Cewek ini cukup menyenangkan. Pikir Vino.

FLASHBACK OFF

“Al,” suara wanita itu menyadarkan Vino dari lamunan tentang masa SMAnya tadi. “Kamu kenapa senyum-senyum gitu?” tanyanya lagi sambil mendekati Vino. Vino berdiri, mensejajarkan posisinya dengan wanita itu.

“Nggak kenapa-napa, kok. Tadi Aldi nelepon dan ngajakin reunian. Aku cuman ingat masa-masa SMA dulu, makanya senyum-senyum. hehehe..” Kekeh Vino sambil mengacak-ngacak rambut wanita itu.

“Oh, jadi kamu ingat masa-masa SMA? Ingat sama cinta pertama kamu yang namanya Tasya itu, ya?” tanya wanita itu sinis sambil melipat tangan di dadanya.

“Yee.. cemburu, ya? Hahaha..” Vino mencubit hidungnya gemas. Wanita itu meringis.

“Iya, aku ingat dia. Tapi yang bikin aku senyum-senyum itu pas ingat cewek penjaga UKS yang udah janji ngobatin luka di hati aku.” Ucap Vino sambil meraih tangan wanita itu. “Dan dia, udah nepatin janjinya.” Lanjut Vino sambil meletakkan tangan wanita itu tepat di dadanya. “Disini. Lukanya udah sembuh. Makasih ya, cewek penjaga UKS.” Vino mengelus rambutnya dengan lembut. Wanita itu tersenyum dan mengangguk.

Ya, akhirnya si cewek penjaga UKS itu berhasil menyembuhkan luka di hati Vino. Dan bahkan sekarang memberikan kebahagiaan yang lebih dalam hidup laki-laki itu. Dia, Aleyna, istrinya.

Penyesalan adalah hal yang sia-sia. Makanya, kamu harus berani bertindak sebelum menyesal. Seperti kisah Vino tadi, Vino yang nggak mau jujur dan nggak berani mengakui cintanya ke Tasya. Dan akhirnya keduluan Aldi. Yah, untuk apa menyesal dan menyalahkan diri terus? Life must go on, right? Masih ada masa depan yang menanti kita. Toh, sekarang tuhan memberikan seorang pendamping yang sangat baik untuk Vino. Itu sudah lebih dari cukup.

“Oh, ya. Kamu kenapa bangun?” Vino melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 12 malam. 

“Kamu pusing? Perut kamu mual? Ada yang sakit?” tanya Vino bertubi-tubi.

“Idih.. satu-satu, dong, nanyanya. Aku nggak kenapa-napa. Aku Cuma lagi pengen.. makan pasta. Boleh?” tanya Leyna penuh harap.

“Ya boleh lah, sayang. Aku pesenin dulu, ya.”

“Eh, enggak. Aku nggak mau yang di pesen. Aku mau kamu yang buatin.”

“Apa?” Vino membelalak tidak percaya. Masak? Mana bisa dia masak. Menyentuh dapur saja tidak pernah.

“Iya. Kenapa? nggak mau? Oh, yaudah. Tapi jangan salahin, kalo setelah lahir anak kita suka ngences karena kemauannya nggak di turutin.” Leyna cemberut.

Vino menghela nafas panjang, “Iya... iya.. aku buatin. Tapi nggak jamin rasanya enak. Udah jangan cemberut gitu, ah.”

“Nah, gitu dong. Baru namanya suami siaga. Hahaha..” Leyna tertawa penuh kemenangan.

Nggak apa-apa deh, gue nyentuh dapur untuk masak. Yang penting wanita gue ini dan anak kita yang ada di dalam perutnya itu bisa bahagia. Aku ora popo.. Batin Vino.

=END=

Story line by, Thilmaa
cr pict : http://news.liputan6.com/read/2021060/aku-rapopo-ungkapan-miris-paling-populer-saat-ini
P.S : Cerpen ini pernah saya ikutkan di lomba menulis kisah inspiratif "Aku Rapopo" @divapress01. tapi nggak lolos.. :p nggak apa-apa. aku rapopo.. hahaha
Yang penting, nulis wae.. :D

cerpen ini pernah saya publish di blog saya :  https://lforlovelforlife.wordpress.com/2014/05/05/life-must-go-on-right-aku-ora-popo/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar