Selasa, 10 Februari 2015

=Antara Cinta dan Sang Pencipta Cinta=





Awan sore tampak berarakan dengan pelan, ditemani suara dedaunan yang bergemerisik ditiup angin. Sore yang cukup menyejukkan. Tetapi tidak bagi gadis itu. Gadis berambut sebahu itu tampak sedang murung sambil berdiri di depan jendela kamarnya. Ia memejamkan mata, menikmati angin yang mulai membelai lembut wajahnya. Mencoba berdamai dengan kebimbangan yang akhir-akhir ini menemaninya. 

            Ceklek..

            “Dek, ada temen kamu, tuh!”  

            Refleks gadis itu menoleh,  mendapati kakaknya yang sedang berdiri di depan pintu. Ia mengerutkan dahi, “Temen aku? Siapa kak?” tanyanya. 

            “Cowok. Cakep loh..” Jawab kakaknya sambil tersenyum jahil. Gadis itu makin mengerutkan dahi. “ Kakak juga nggak tau namanya, belum pernah kesini deh kayaknya. Udah, Samperin, gih.” Ucap sang kakak sebelum menutup kembali pintu kamar. 

Gadis itu menghembuskan napas berat, lalu berjalan keluar kamarnya.

---  

“Rei...”  Lirih Gadis itu. Ia mematung di tempatnya berdiri. Sesak di dadanya belum juga reda, namun bertambah sesak saat ia melihat siapa tamu itu. Rindu yang ia tahan selama seminggu ini serasa menguap diudara. Namun kemudian, ketakutan yang ia simpan selama ini seakan ikut membayang-bayanginya.  

Laki-laki yang disapa Rei  itu bangkit dari duduknya, lalu tersenyum tipis pada sang gadis. “Hai, Raina..” sapanya lembut.  

“Kok kamu bisa kesini?!”  tanya sang gadis tanpa sadar, membuat laki-laki bertubuh tinggi itu mengerutkan alisnya. “Eh, maksud aku..” sambungnya lagi saat melihat wajah kecewa Rei. Hanya itu, tak ada sambungannya lagi. Tiba-tiba gadis yang dipanggil Raina itu kehabisan kata-kata.

“Aku Cuma pengen ketemu orang tua kamu. Masih nggak boleh?” tanya Rei.

“Bukan gitu.. tapi-”

 “Raina.. Ibu mau pergi dulu..” Suara itu memotong ucapan Raina. Mereka serempak menoleh, dan terlihatlah seorang wanita berhijab putih memasuki ruang tamu. “Eh, ada tamu.”  Sapa wanita itu yang tak lain adalah ibunya Raina. Beliau tersenyum ramah pada Rei. 

            Rei langsung beranjak dan menghampiri ibu Raina, “Saya Reinald, bu.” Ucapnya sambil menyalimi tangan ibu Raina dengan takzim. Melihat itu Raina memucat, keringat dingin mulai bercucuran dari dahinya. 
  
            “Ehhem..” Deheman itu membuat jantung Raina berdentam kencang.  “Siapa, bu?” Tanya suara berat  yang tak lain adalah ayahnya Raina. Beliau baru saja masuk ke ruang tamu. 

            Reinald beralih kepada ayah Raina, lalu menyalimi tangan beliau dengan tak kalah takzim. “Saya Reinald, pak.” Ucapnya memperkenalkan diri. 

            Ayah Raina mengerutkan dahinya dengan  bingung, lalu melirik Raina untuk meminta penjelasan. “Dia-” Raina menelan ludah dengan susah payah, “Dia temen Raina, yah.” Ucap gadis itu akhirnya. 

            “Oh, begitu.” Sahut sang ayah sembari menatap Rei dengan penuh selidik.“Saya ayahnya Raina.” Ucap beliau pada Rei. Kemudian beliau mengalihkan tatapannya pada Raina. “Rain, ayah sama ibu mau pergi pengajian ke rumah pak Anwar. Kami pergi dulu, ya..” lanjutnya sambil mengelus rambut putrinya. 

            “Iya, yah. Ayah sama ibu hati-hati, ya.” Pesan Raina sambil menyalimi tangan kedua orang tuanya. Kemudian ayah dan ibu Raina pun pergi, meninggalkan Raina dan Rei dalam suasana yang masih terasa tegang. 

            “Rain, aku mau ngomong.” Ucap Rei pelan. 

Raina mengangguk lemah. “Di tempat biasa aja, Rei.” 

---

Dan di sinilah mereka sekarang, duduk di tepian danau yang terletak di tengah taman kota, tempat mereka biasa menghabiskan waktu berdua.    

“Kamu..” suara Raina memecah keheningan. “Kenapa bisa sampai kerumah aku ? Aku kan nggak pernah ngajak kamu kerumah, tau alamat aku dari mana?” tanya Raina bertubi-tubi.  Bukannya ia tidak suka Rei datang kerumahnya, hanya saja gadis itu takut. 

            Rei menghela napas, lalu tersenyum sinis. “5 bulan kita pacaran, nggak sekalipun kamu ngajak aku kerumahmu. Tapi,” ia berhenti sejenak. “Aku tetep cowok kamu. Aku tetep harus jagain kamu. Kamu nggak pernah tau kan, kalo aku selalu nganterin kamu pulang? Ya, meskipun cuma dari jauh aja.” Rei menatap wajah Raina sekilas, lalu kembali meluruskan pandangannya kedepan. Menatap air danau yang terlihat tenang. Sesekali Rei melemparkan kerikil hingga mengusik ketenangan danau itu.  

Raina terdiam, rasa bersalah itu kembali mendatanginya. Jadi, selama ini Rei selalu menjaganya secara diam-diam? 

            “Kamu..” suara Rei mengalihkan Raina dari semua pikirannya barusan. Saat ia menoleh, ternyata Rei sedang menatapnya. Membuat pandangan mereka beradu. “Kenapa nggak pernah angkat telepon aku? Kenapa nggak pernah bales pesan aku?” laki-laki itu menatap Raina tepat di manik matanya. “Seminggu, udah seminggu kamu menghindar dari aku. Tiap aku cari di kampus, kamu selalu udah pulang.” Ucapnya dengan suara tenang, namun mengisyaratkan kekecewaan dan kekhawatiran yang mendalam. 

            Lama Raina terdiam, menyelami mata hitam Rei yang menatapnya dengan penuh sayang.  Jantungnya serasa remuk saat melihat kekecewaan yang terselip di sana. Dirinya merasa begitu jahat kepada laki-laki yang sangat ia cintai itu. “Maaf..” Ucapnya pelan. Gadis itu tertunduk lesu. 

            Setelah hening beberapa saat, Raina pun menghela napas dengan berat. “Rei,” Panggilnya, membuat Rei menoleh pada gadis itu. Perlahan Raina meraih tangan kanan Rei, lalu membawanya kepangkuannya. 

Gadis itu membalik telapak tangan Rei, dan saat itulah terlihat tato kecil berukiran salib di pergelangan tangan Rei. Tato kecil yang membuat keringat dingin bercucuran dari dahinya -saat Rei bersalaman dengan ibunya tadi-, tato yang ia takuti akan dilihat orang tuanya. 

 Raina mengusap-usap tato itu, “Seminggu ini aku gunakan untuk berpikir dan menimbang-nimbang perasaanku. Dan akhirnya, aku mendapat jawaban dari semua kebimbanganku itu,” Raina berhenti sejenak. “Aku mencintai kamu dengan sangat tulus. Sungguh..” lirih gadis itu. “Tapi-” Gadis itu menghentikan ucapannya, menelan kegetiran yang menyumbat kerongkongannya. “Tapi aku nggak bisa menghianati tuhanku dan kedua orang tuaku.”  Lanjutnya dengan suara yang mulai serak. 

Rei mengerutkan alisnya,  “Maksud kamu..?!”  tanyanya tajam.  

Raina mengeratkan genggamannya pada Rei, seolah meminta kekuatan dari laki-laki itu. Kemudian gadis itu memejamkan matanya dengan kuat. “Bismillah... kita putus ya, sayang?” 
 
Alangkah terkejutnya Rei saat mendengar ucapan Raina barusan. Laki-laki itu langsung menarik tangannya dari genggaman Raina. Rei memejamkan mata sipitnya sejenak, lalu beralih pada Raina. Mata sipitnya yang tajam bak mata elang itu menghujam mata bulat Raina, “Kamu yakin?” tanyanya meyakinkan. Raina menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang akan pecah. Kemudian ia mengangguk pelan. 

"Segini aja, Rain?" suara Rei tajam dan dalam, "Segini aja cinta yang kita banggakan dulu?"   

"Bukan gitu, Rei... tapi-" Raina tak kuat lagi melanjutkan ucapannya. gadis itu hanya mampu menunduk menahan sesak di dadanya.

Rei terus menatap Raina yang tertunduk lesu. Jujur saja, hatinya terasa sakit dengan keputusan Raina. Namun, melihat gadis itu tertunduk lemah seperti itu membuat hatinya luluh. Ia bisa merasakan bahwa Raina juga tersakiti oleh keputusannya ini. Akhirnya laki-laki itu membuang napas dengan lelah.“Baiklah, jika memang itu yang kamu mau.” Laki-laki itu kembali meluruskan pandangannya,  menatap kilauan jingga yang mulai membiasi air danau. “Kamu benar, sepertinya dulu kita terlalu mengikuti perasaan. Hingga melupakan perbedaan kita yang satu ini.” Gumam Rei. 

 Dengan ragu Rei membelai rambut Raina, “Oke, aku terima keputusan kamu.” Ucap laki-laki itu sambil mengupayakan seulas senyum di bibir tipisnya. Senyum getir yang Raina yakin terasa sangat menyakitkan bagi Rei .   

“Udah mau maghrib, ayo aku antar pulang!” ajak Rei sambil berdiri.  Raina pun ikut berdiri, lalu tersenyum lemah pada Rei. 

Mereka baru saja akan melangkah, namun tiba-tiba Rei menggenggam tangan Raina dengan erat. Membuat gadis itu tertegun dan menatapnya lekat. “Cuma sampai ujung jalan sana.” Tunjuk Rei pada ujung jalan setapak itu sambil  tersenyum lirih. Raina  menatap Rei dengan mata yang berkaca-kaca, namun kemudian gadis itu menunduk. 

             “Ihhiks..” terdengar isakan pilu dari bibir Raina, membuat dada Rei kembali terasa perih. 

            Rei mengangkat kepala Raina yang tertunduk,  “Udah, jangan nangis ya, sayang..” kemudian ia menghapus air mata yang menjatuhi pipi Raina. 

            “Maaf..” gumam Raina. “Makasih untuk pengertian kamu.” Lanjut gadis itu ditengah isakannya. 

            Rei memejamkan mata, menahan sesak yang menghujam dadanya. “Nggak apa-apa. Kamu benar, kita memang nggak akan bisa bersatu.” Laki-laki itu mengelus rambut Raina dengan sayang. “Biarlah kita seperti ini. Berpisah untuk mendamaikan hati kita masing-masing.” Ucapan Rei itu membuat tangis Raina semakin pecah. Gadis itu menumpahkan segala kesedihannya di sana. 

            Kamu adalah cintaku, tapi Allah adalah Tuhanku. Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Tuhan yang telah menciptakan cinta dihati manusia. Sepertinya Tuhanku sedang menguji cintaku padanya, dengan menghadirkan kamu di dalam hidupku. Aku mencintai kamu. Tapi aku juga tidak bisa mengkhianati cinta Tuhanku. Anggaplah cinta kita ini sebagai ujian terindah dari Tuhan kita.” –Raina-

~END~

Padang, 11 Januari 2014
Oleh, Thilmaa
===================================================================


2 komentar:

  1. Oke udh dibaca lg utk yg ktiga kalinya. Soalnya dlupenh bca 2x kan di inbox fb. Hehe
    Jd klo dr segi jln cerita ckp mnrk ttg cnta beda agama. Trlalu sdih dan rumit :( klo bukan crpen udh pasti bs lbh menyedihkan dg banyak momen indah yg udh prnh mreka lewati. (Drama bgt ya???-_-))

    Kali ini eonni bukan mau ngritik ya cantik. Lbh tpatnya share ilmu yg baru2 ini didapet dr slh stu website yg nmu di google cm lupa web apa namanya. Intinya ttg pnggunaan tanda baca.



    1) “Kenapa bisa sampai kerumah aku ? Aku kan nggak pernah ngajak kamu kerumah, tau alamat aku dari mana?” tanya Raina bertubi-tubi.

    Setelah tanda tanya/seru/titik yg ditutup dg tanda kutip shrusnya diawali oleh huruf kapital. Kata "tanya" jd "Tanya"

    Dan kata "kerumah" seharusnya "ke rumah"


    2) Rei langsung beranjak dan menghampiri ibu Raina, “Saya Reinald, bu.” Ucapnya sambil menyalimi tangan ibu Raina dengan takzim.

    "Saya Reinald, bu." harusnya diawali dg huruf kecil jd "saya Reinald, bu." karena ada tanda koma sblum tnda petik di blkang sya. Bs mnggunakan huruf kapital jika diawali nama. Cth : Rei langsung beranjak dan menghampiri ibu Raina, “Reinald adalah namaku, bu.” Ucapnya sambil menyalimi tangan ibu Raina dengan takzim.



    Itu aja sih. Kseliruhan emang thilmaa kalo nulis sistematis dan rapi jd enak aja bacanya. Juga paling suka klo ada majas2 trtndu dlm crpen.

    Thank u very ghamsa selalu berbagi tulisan yg menarik :*

    BalasHapus
  2. iya kak, menyedihkan bgt kalo sampe beda agama kayak gini. jangan sampe deh kejadian ama kita.. hahaha

    waahhh... gomawo koreksinya kak.. :D jujur, aku emank agak kurang di tanda baca. aku malah seneng bgt dapet tambahan ilmu dari kak vie. pdhal, dr dulu kak vie udh sering jg ngasih tau, tp aku sering lupa.. hehehe
    utk selanjutnya aku akan ingat2 lg masalah tanda bacanya.. :)
    thank you so much sista.. :)

    BalasHapus