Awan sore tampak
berarakan dengan pelan, ditemani suara dedaunan yang bergemerisik ditiup angin.
Sore yang cukup menyejukkan. Tetapi tidak bagi gadis itu. Gadis berambut sebahu
itu tampak sedang murung sambil berdiri di depan jendela kamarnya. Ia
memejamkan mata, menikmati angin yang mulai membelai lembut wajahnya. Mencoba
berdamai dengan kebimbangan yang akhir-akhir ini menemaninya.
Ceklek..
“Dek, ada temen kamu, tuh!”
Refleks gadis itu menoleh, mendapati kakaknya yang sedang berdiri di
depan pintu. Ia mengerutkan dahi, “Temen aku? Siapa kak?” tanyanya.
“Cowok. Cakep loh..” Jawab kakaknya sambil tersenyum
jahil. Gadis itu makin mengerutkan dahi. “ Kakak juga nggak tau namanya, belum
pernah kesini deh kayaknya. Udah, Samperin, gih.” Ucap sang kakak sebelum
menutup kembali pintu kamar.
Gadis
itu menghembuskan napas berat, lalu berjalan keluar kamarnya.
---
“Rei...” Lirih Gadis itu. Ia mematung di tempatnya
berdiri. Sesak di dadanya belum juga reda, namun bertambah sesak saat ia
melihat siapa tamu itu. Rindu yang ia tahan selama seminggu ini serasa menguap
diudara. Namun kemudian, ketakutan yang ia simpan selama ini seakan ikut membayang-bayanginya.
Laki-laki
yang disapa Rei itu bangkit dari
duduknya, lalu tersenyum tipis pada sang gadis. “Hai, Raina..” sapanya lembut.
“Kok
kamu bisa kesini?!” tanya sang gadis
tanpa sadar, membuat laki-laki bertubuh tinggi itu mengerutkan alisnya. “Eh,
maksud aku..” sambungnya lagi saat melihat wajah kecewa Rei. Hanya itu, tak ada
sambungannya lagi. Tiba-tiba gadis yang dipanggil Raina itu kehabisan
kata-kata.
“Aku
Cuma pengen ketemu orang tua kamu. Masih nggak boleh?” tanya Rei.
“Bukan
gitu.. tapi-”
“Raina.. Ibu mau pergi dulu..” Suara itu
memotong ucapan Raina. Mereka serempak menoleh, dan terlihatlah seorang wanita
berhijab putih memasuki ruang tamu. “Eh, ada tamu.” Sapa wanita itu yang tak lain adalah ibunya
Raina. Beliau tersenyum ramah pada Rei.
Rei langsung beranjak dan menghampiri ibu Raina, “Saya
Reinald, bu.” Ucapnya sambil menyalimi tangan ibu Raina dengan takzim. Melihat
itu Raina memucat, keringat dingin mulai bercucuran dari dahinya.
“Ehhem..” Deheman itu membuat jantung Raina berdentam
kencang. “Siapa, bu?” Tanya suara
berat yang tak lain adalah ayahnya Raina.
Beliau baru saja masuk ke ruang tamu.
Reinald beralih kepada ayah Raina, lalu menyalimi tangan
beliau dengan tak kalah takzim. “Saya Reinald, pak.” Ucapnya memperkenalkan
diri.
Ayah Raina mengerutkan dahinya dengan bingung, lalu melirik Raina untuk meminta
penjelasan. “Dia-” Raina menelan ludah dengan susah payah, “Dia temen Raina,
yah.” Ucap gadis itu akhirnya.
“Oh, begitu.” Sahut sang ayah sembari menatap Rei dengan
penuh selidik.“Saya ayahnya Raina.” Ucap beliau pada Rei. Kemudian beliau
mengalihkan tatapannya pada Raina. “Rain, ayah sama ibu mau pergi pengajian ke
rumah pak Anwar. Kami pergi dulu, ya..” lanjutnya sambil mengelus rambut
putrinya.
“Iya, yah. Ayah sama ibu hati-hati, ya.” Pesan Raina
sambil menyalimi tangan kedua orang tuanya. Kemudian ayah dan ibu Raina pun
pergi, meninggalkan Raina dan Rei dalam suasana yang masih terasa tegang.
“Rain, aku mau ngomong.” Ucap Rei pelan.
Raina
mengangguk lemah. “Di tempat biasa aja, Rei.”
---
Dan
di sinilah mereka sekarang, duduk di tepian danau yang terletak di tengah taman
kota, tempat mereka biasa menghabiskan waktu berdua.
“Kamu..”
suara Raina memecah keheningan. “Kenapa bisa sampai kerumah aku ? Aku kan nggak
pernah ngajak kamu kerumah, tau alamat aku dari mana?” tanya Raina
bertubi-tubi. Bukannya ia tidak suka Rei
datang kerumahnya, hanya saja gadis itu takut.
Rei menghela napas, lalu tersenyum sinis. “5 bulan kita
pacaran, nggak sekalipun kamu ngajak aku kerumahmu. Tapi,” ia berhenti sejenak.
“Aku tetep cowok kamu. Aku tetep harus jagain kamu. Kamu nggak pernah tau kan,
kalo aku selalu nganterin kamu pulang? Ya, meskipun cuma dari jauh aja.” Rei
menatap wajah Raina sekilas, lalu kembali meluruskan pandangannya kedepan.
Menatap air danau yang terlihat tenang. Sesekali Rei melemparkan kerikil hingga
mengusik ketenangan danau itu.
Raina
terdiam, rasa bersalah itu kembali mendatanginya. Jadi, selama ini Rei selalu
menjaganya secara diam-diam?
“Kamu..” suara Rei mengalihkan Raina dari semua
pikirannya barusan. Saat ia menoleh, ternyata Rei sedang menatapnya. Membuat
pandangan mereka beradu. “Kenapa nggak pernah angkat telepon aku? Kenapa nggak
pernah bales pesan aku?” laki-laki itu menatap Raina tepat di manik matanya. “Seminggu,
udah seminggu kamu menghindar dari aku. Tiap aku cari di kampus, kamu selalu
udah pulang.” Ucapnya dengan suara tenang, namun mengisyaratkan kekecewaan dan
kekhawatiran yang mendalam.
Lama Raina terdiam, menyelami mata hitam Rei yang
menatapnya dengan penuh sayang. Jantungnya serasa remuk saat melihat kekecewaan
yang terselip di sana. Dirinya merasa begitu jahat kepada laki-laki yang sangat
ia cintai itu. “Maaf..” Ucapnya pelan. Gadis itu tertunduk lesu.
Setelah hening beberapa saat, Raina pun menghela napas
dengan berat. “Rei,” Panggilnya, membuat Rei menoleh pada gadis itu. Perlahan
Raina meraih tangan kanan Rei, lalu membawanya kepangkuannya.
Gadis
itu membalik telapak tangan Rei, dan saat itulah terlihat tato kecil berukiran
salib di pergelangan tangan Rei. Tato kecil yang membuat keringat dingin
bercucuran dari dahinya -saat Rei bersalaman dengan ibunya tadi-, tato yang ia
takuti akan dilihat orang tuanya.
Raina mengusap-usap tato itu, “Seminggu ini
aku gunakan untuk berpikir dan menimbang-nimbang perasaanku. Dan akhirnya, aku
mendapat jawaban dari semua kebimbanganku itu,” Raina berhenti sejenak. “Aku
mencintai kamu dengan sangat tulus. Sungguh..” lirih gadis itu. “Tapi-” Gadis itu
menghentikan ucapannya, menelan kegetiran yang menyumbat kerongkongannya. “Tapi
aku nggak bisa menghianati tuhanku dan kedua orang tuaku.” Lanjutnya dengan suara yang mulai serak.
Rei
mengerutkan alisnya, “Maksud kamu..?!” tanyanya tajam.
Raina
mengeratkan genggamannya pada Rei, seolah meminta kekuatan dari laki-laki itu. Kemudian
gadis itu memejamkan matanya dengan kuat. “Bismillah...
kita putus ya, sayang?”
Alangkah
terkejutnya Rei saat mendengar ucapan Raina barusan. Laki-laki itu langsung
menarik tangannya dari genggaman Raina. Rei memejamkan mata sipitnya sejenak,
lalu beralih pada Raina. Mata sipitnya yang tajam bak mata elang itu menghujam mata
bulat Raina, “Kamu yakin?” tanyanya meyakinkan. Raina menggigit bibir bawahnya,
menahan tangis yang akan pecah. Kemudian ia mengangguk pelan.
"Segini aja, Rain?" suara Rei tajam dan dalam, "Segini aja cinta yang kita banggakan dulu?"
"Bukan gitu, Rei... tapi-" Raina tak kuat lagi melanjutkan ucapannya. gadis itu hanya mampu menunduk menahan sesak di dadanya.
Rei
terus menatap Raina yang tertunduk lesu. Jujur saja, hatinya terasa sakit
dengan keputusan Raina. Namun, melihat gadis itu tertunduk lemah seperti itu
membuat hatinya luluh. Ia bisa merasakan bahwa Raina juga tersakiti oleh
keputusannya ini. Akhirnya laki-laki itu membuang napas dengan lelah.“Baiklah,
jika memang itu yang kamu mau.” Laki-laki itu kembali meluruskan pandangannya, menatap kilauan jingga yang mulai membiasi
air danau. “Kamu benar, sepertinya dulu kita terlalu mengikuti perasaan. Hingga
melupakan perbedaan kita yang satu ini.” Gumam Rei.
Dengan ragu Rei membelai rambut Raina, “Oke,
aku terima keputusan kamu.” Ucap laki-laki itu sambil mengupayakan seulas
senyum di bibir tipisnya. Senyum getir yang Raina yakin terasa sangat
menyakitkan bagi Rei .
“Udah
mau maghrib, ayo aku antar pulang!” ajak Rei sambil berdiri. Raina pun ikut berdiri, lalu tersenyum lemah pada
Rei.
Mereka
baru saja akan melangkah, namun tiba-tiba Rei menggenggam tangan Raina dengan
erat. Membuat gadis itu tertegun dan menatapnya lekat. “Cuma sampai ujung jalan
sana.” Tunjuk Rei pada ujung jalan setapak itu sambil tersenyum lirih. Raina menatap Rei dengan mata yang berkaca-kaca,
namun kemudian gadis itu menunduk.
“Ihhiks..” terdengar
isakan pilu dari bibir Raina, membuat dada Rei kembali terasa perih.
Rei mengangkat kepala Raina yang tertunduk, “Udah, jangan nangis ya, sayang..” kemudian ia
menghapus air mata yang menjatuhi pipi Raina.
“Maaf..” gumam Raina. “Makasih untuk pengertian kamu.”
Lanjut gadis itu ditengah isakannya.
Rei memejamkan mata, menahan sesak yang menghujam
dadanya. “Nggak apa-apa. Kamu benar, kita memang nggak akan bisa bersatu.” Laki-laki
itu mengelus rambut Raina dengan sayang. “Biarlah kita seperti ini. Berpisah
untuk mendamaikan hati kita masing-masing.” Ucapan Rei itu membuat tangis Raina
semakin pecah. Gadis itu menumpahkan segala kesedihannya di sana.
“Kamu adalah
cintaku, tapi Allah adalah Tuhanku. Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Tuhan
yang telah menciptakan cinta dihati manusia. Sepertinya Tuhanku sedang menguji
cintaku padanya, dengan menghadirkan kamu di dalam hidupku. Aku mencintai kamu.
Tapi aku juga tidak bisa mengkhianati cinta Tuhanku. Anggaplah cinta kita ini sebagai
ujian terindah dari Tuhan kita.” –Raina-
~END~
Padang, 11 Januari 2014
Oleh, Thilmaa
===================================================================

Oke udh dibaca lg utk yg ktiga kalinya. Soalnya dlupenh bca 2x kan di inbox fb. Hehe
BalasHapusJd klo dr segi jln cerita ckp mnrk ttg cnta beda agama. Trlalu sdih dan rumit :( klo bukan crpen udh pasti bs lbh menyedihkan dg banyak momen indah yg udh prnh mreka lewati. (Drama bgt ya???-_-))
Kali ini eonni bukan mau ngritik ya cantik. Lbh tpatnya share ilmu yg baru2 ini didapet dr slh stu website yg nmu di google cm lupa web apa namanya. Intinya ttg pnggunaan tanda baca.
1) “Kenapa bisa sampai kerumah aku ? Aku kan nggak pernah ngajak kamu kerumah, tau alamat aku dari mana?” tanya Raina bertubi-tubi.
Setelah tanda tanya/seru/titik yg ditutup dg tanda kutip shrusnya diawali oleh huruf kapital. Kata "tanya" jd "Tanya"
Dan kata "kerumah" seharusnya "ke rumah"
2) Rei langsung beranjak dan menghampiri ibu Raina, “Saya Reinald, bu.” Ucapnya sambil menyalimi tangan ibu Raina dengan takzim.
"Saya Reinald, bu." harusnya diawali dg huruf kecil jd "saya Reinald, bu." karena ada tanda koma sblum tnda petik di blkang sya. Bs mnggunakan huruf kapital jika diawali nama. Cth : Rei langsung beranjak dan menghampiri ibu Raina, “Reinald adalah namaku, bu.” Ucapnya sambil menyalimi tangan ibu Raina dengan takzim.
Itu aja sih. Kseliruhan emang thilmaa kalo nulis sistematis dan rapi jd enak aja bacanya. Juga paling suka klo ada majas2 trtndu dlm crpen.
Thank u very ghamsa selalu berbagi tulisan yg menarik :*
iya kak, menyedihkan bgt kalo sampe beda agama kayak gini. jangan sampe deh kejadian ama kita.. hahaha
BalasHapuswaahhh... gomawo koreksinya kak.. :D jujur, aku emank agak kurang di tanda baca. aku malah seneng bgt dapet tambahan ilmu dari kak vie. pdhal, dr dulu kak vie udh sering jg ngasih tau, tp aku sering lupa.. hehehe
utk selanjutnya aku akan ingat2 lg masalah tanda bacanya.. :)
thank you so much sista.. :)