Disclaimer
: Cerpen ini terinspirasi dari sms yang saya terima waktu gempa tahun
2009 lalu. Namun plot dan karakter murni dari khayalan saya. No copas,
no bash. Enjoy this story..^^
“kau adalah mimpi yang nyata, bak ilusi di tengah hujan. “
Tetes-tetes air langit itu mulai turun membasahi bumi. Terdengar
gemercik air yang menyentuh tanah di luar sana, bagaikan nyanyian
penghantar tidur yang mengalun dengan indah. Gadis itu terduduk di
kursi depan jendela kamarnya. Ia memandangi guyuran hujan yang
berjatuhan melalui atap rumah.
Naira, begitulah gadis itu di sapa. Ia tersenyum melihat guyuran hujan
deras di luar sana. Hujan baginya adalah suatu kedamaian. Ia pasti
akan tidur dengan nyenyak bila di temani sang hujan.
Drrtt..drrtt…
ponselnya bergetar. Gadis itu mengalihkan pandangannya dari jendela,
lalu meraih ponsel yang bergetar di atas meja. Senyum itu makin
mengembang di wajahnya saat melihat nama si penelpon.
“Halo?” sapanya dengan riang.
“Nai.. lagi apa?” tanya suara di balik sana.
“Lagi duduk di depan jendela kamar. Kamu?”
“Aku lagi di jalan mau ke rumah kamu. Tunggu aku ya,” pinta suara itu.
Naira mengernyitkan dahi, “Kerumah aku?” tanyanya ragu. Kemudian ia
kembali melihat ke jendela, “Tapi lagi hujan, L, kamu yakin?”
“Iya, yakin. Aku pengen liat wajah kamu sebentar aja. Boleh ya?”
“Hmm.. boleh, kok. Yaudah, aku tunggu ya.”
“Iya..
makasih ya sayang. Aku cinta kamu.” Sejenak Naira terdiam mendengar
kata-kata L –si penelpon- yang merupakan pacarnya itu. Ia sedikit
bingung, karena biasanya cowok itu bukanlah tipe pengumbar kata-kata
cinta. Jarang banget malah dia bilang “Aku cinta kamu” kayak gitu.
“Hmm.. ya, aku juga cinta kamu.” Sebuah senyum kembali terukir di wajah manis gadis itu.
—
Ting.. tong..
“Nai, bukain pintu ya!” Teriak mama Naira.
“Iya
ma.” Dengan cepat gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan jalan ke
depan untuk membukakan pintu. Ia tersenyum. Ya, dia tau siapa yang
datang.
Ceklek.. pintu terbuka,
Senyum di wajah gadis itu memudar seketika. “L?” suaranya lemah. Wajahnya melunak, menampakkan kekhawatiran. “Kamu…”
desisnya pelan sambil menyentuh wajah laki-laki yang kini berdiri di
depannya. “Wajah kamu pucat banget.” Lanjut gadis itu lirih. Sedangkan
laki-laki di depannya itu hanya tersenyum tipis.
“Aku kangen kamu.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut laki-laki bermata elang itu.
“Iya, aku juga. Tapi…” Naira masih mengamati wajah laki-laki itu, ia
merasa ada yang berbeda dari wajah pacarnya ini. “Masuk dulu, L. Ganti
baju kamu.” Katanya sambil menarik tangan L.
“Nggak usah Nai, di sini aja. Aku Cuma pengen Liat wajah kamu bentaran
aja.” Jawab L sambil menepis tangan Naira dengan lembut.
“Nggak! Masuk dulu, L. Ganti baju kamu. Liat, baju kamu basah kuyup.
Kamu pasti kedinginan. Bibir kamu aja sampai biru gitu.” Cecar Naira
tanpa henti sambil menampakkan gurat kekhawatiran.
“Iya deh, iya..” jawab L pasrah sambil mengikuti langkah Naira.
“Masuk, L.” Naira menarik L memasuki kamarnya.
Sesampainya
di dalam kamar, Naira kembali mengamati wajah L. Wajah itu pucat,
dengan bibir yang sudah membiru. Tubuhnya basah kuyup, dengan
titik-titik air yang mengalir dan berjatuhan dari rambutnya. Entah
kenapa, hati Naira terasa pilu melihat penampilan kekasihnya ini.
“Keringin dulu rambut kamu,” perintah Naira sambil menyerahkan handuk.
“Nggak usah, gini aja nggak apa-apa, kok.” Tolak L dengan senyum kakunya.
Naira
mendengus, tidak habis pikir dengan sikap keras kepala L. Ia menarik
nafas dalam, lalu langsung mengeringkan rambut L dengan handuk di
tangannya. Ia mengusap-usap rambut itu dengan lembut.
“Hahaha..
geli Nai..” L cekikikan dan memegangi tangan Naira yang mengeringkan
rambutnya itu. Lain halnya denga Naira, gadis itu semakin mempercepat
gerakan tangannya. Bahkan sesekali ia sengaja mempermainkan rambut L.
“Udah, ah!” Desis L sambil menurunkan tangan Naira dari kepalanya.
“Kamu sih, nggak mau ngeringin rambut sendiri. Nih, lihat! Tangan aku
ikutan basah, kan.” Gerutu gadis itu dengan bibir manyun.
“Yee.. siapa yang nyuruh, coba? Kamu sendiri yang mau.” Bantah L sambil mencubit hidung mungil Naira.
“Ahh..
sakit!” Ringis Naira sambil menepuk tangan L yang ada di hidungnya.
“Ish! Kebiasaan deh, nyubit-nyubit hidung orang.” Gadis itu masih
menggerutu sambil mengusap-usap hidungnya.
“Hahaha…
iya.. iya.. maaf. Aku kangen aja nyubit hidung kamu. Terakhir kalinya
deh, aku janji.” Laki-laki itu tersenyum, “Makasih, ya sayang. Selama
ini kamu selalu ada buat aku.” ucapnya pilu sambil mengacak rambut
Naira dengan lembut.
“Iya, kamu juga selalu ada buat aku.” Naira meraih tangan L dan
menggenggamnya dengan erat. “Selamanya kita akan terus gini kan, L?
Nggak boleh ada yang ninggalin, ya! Awas aja kamu ninggalin aku, aku
nggak bakalan maafin kamu!” Ancamnya.
Sejenak senyum di wajah L menghilang, berganti dengan gurat ketakutan.
Wajah pucat itu semakin pucat. Namun detik berikutnya, kembali senyum
kaku itu mengembang. “Insyaallah. Tentunya jika Allah mengizinkan dan
jika takdir menggariskan, kita pasti akan selalu bersama.” Gumam
laki-laki itu pelan. Naira hanya mengangguk dan tersenyum.
“Yaudah, kamu tunggu di sini dulu. Aku mau ambilin baju ganti. Ntar
kamu masuk angin lagi.” Naira melepas tangan L dan bersiap-siap untuk
keluar kamar.
“Nai..” Namun dengan cepat L kembali meraih tangan Naira, membuat
gadis itu menghentikan langkahnya. Naira mengerutkan dahi, “Dengerin
aku,” perintah laki-laki itu. Naira hanya diam dan mendengarkan.
“Apapun yang terjadi aku tetap cinta kamu. Walaupun tuhan tidak
mengizinkan kita bersama, atau takdir menggariskan hal lain, aku tetap
cinta kamu selamanya. Tapi..” ucapan laki-laki itu terputus.
“Tapi?” Naira menaikkan alisnya sebelah, sangat penasaran dengan
kelanjutan kata-kata L. Jantungnya berdetak dengan cepat, tiba-tiba
perasaannya menjadi tak karuan.
“Tapi jika hal itu terjadi, kamu boleh lupain aku. kamu boleh nggak
cinta lagi sama aku. kamu bebas lanjutin hidup kamu. Ngerti?” tanya L
dengan penuh penekanan.
“Apaan sih? Kamu ngomong apa?” suara Naira meninggi. “Ah, nggak beres
nih! Hujan bikin otak kamu eror. Udah ah! Aku ambilin baju ganti.”
Naira menepis tangan L dengan kasar. Ia merasa kesal dengan ucapan L
barusan.
“Nai..” L kembali menarik tangan Naira, membuat gadis itu lagi-lagi
menghentikan langkahnya. Tidak hanya sampai di situ, L kemudian menarik
Naira ke dalam pelukannya. Memeluk tubuh Naira dengan erat, seakan
takut kehilangan gadis itu.
“Aku sayang kamu,” bisik L dengan suara bergetar.
Naira terdiam, merasakan pelukan dari tubuh yang basah kuyup ini.
Aneh, ada yang ganjil dari pelukan L. Apa mungkin karena tubuhnya yang
basah? Pikir Naira.
Lama
mereka dalam keadaan ini, sampai akhirnya Naira tersadar. “Hahaha..”
Naira tertawa. “Bahkan sekarang hujan bikin kamu tambah romantis.
Sadar, nggak? Dari tadi udah berapa kali kamu nyebut kata-kata sayang
dan cinta? Biasanya kan jarang banget. Haha..” Tawa gadis itu menggema
ke seluruh kamar.
“Dengerin aja,” L membelai rambut Naira dengan sayang. “Ntar kamu
pasti kangen ama kata-kata itu.” Bisik L lagi. “Tapi nggak boleh nangis
ya, kalo kangen aku. cari aja cowok la- aadaauww.. ampuunn..” ringis L
saat merasakan cubitan maha dahsyat di pinggangnya. Pelukan mereka pun
terlepas. Berganti dengan tatapan tajam yang di tujukan Naira pada L.
L hanya cekikikan sambil mengacak rambut Naira. “Udah sana, ambilin
baju gantinya. Aku dingin. Dingin banget.” Ucap laki-laki masih dengan
tawa jahil di wajahnya.
“Awas ngomong aneh-aneh lagi!” ancam Naira dengan wajah cemberutnya.
“Iya.. iya.. pergi sana! Aku nggak mau ninggalin kamu, kamu duluan gih
yang ninggalin aku.” L kembali tersenyum dengan tipis.
Naira mendengus dan berjalan keluar, tapi saat di depan pintu ia
kembali menoleh ke belakang. Ia memandangi tubuh tegap L yang
membelakanginya. Entah kenapa, sikap L malam ini cukup membingungkan
dan aneh. Tapi Naira merasa puas, entah untuk apa.
Gadis itu mulai berjalan ke ruang setrika pakaian, kebetulan ada baju L
yang baru di cucinya pagi ini. Sebuah Hoody yang di pinjamkan L
padanya kemarin malam. Setelah mengambil hoody itu, Naira keluar dan
berjalan kembali ke kamarnya. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar
telepon di ruang tengah berdering. Ia berjalan menuju telepon itu
sambil membawa hoody yang ada di genggamannnya.
“Halo?” sapa Naira.
“Nai..” Terdengar suara yang familiar baginya.
“Yoga? Ada apa, Ga?” Naira mengangkat sebelah alisnya. Ternyata yang menelpon adalah Yoga, teman L.
“Nai, dengerin gue. Lo harus tetap tenang, Oke?” ucap suara itu. Naira semakin bingung.
“Ada apa sih? Jangan sok misterius gitu deh, Ga.”
“L.. L kecelakaan dan meninggal di tempat.”
Duaarr… suara
itu semakin terdengar jauh bersamaan dengan petir yang menyambar.
Naira terdiam, mencerna kata-kata Yoga barusan. Sedetik kemudian, ia
tertawa. Gadis itu tertawa.
“Lo ngomong apaan sih? Orang L di rumah gue. Sekarang dia lagi di kamar gue nungguin baju ganti. Hahaha..” gadis itu masih tertawa. “Woi! Becanda lo jelek tau nggak! ini bukan appril mop kali, Ga. Males, ah! Dengerin becandaan lo yang nggak mutu itu.”
“Lo ngomong apaan sih? Orang L di rumah gue. Sekarang dia lagi di kamar gue nungguin baju ganti. Hahaha..” gadis itu masih tertawa. “Woi! Becanda lo jelek tau nggak! ini bukan appril mop kali, Ga. Males, ah! Dengerin becandaan lo yang nggak mutu itu.”
Terdengar
helaan nafas dalam di seberang telpon, “Nai, gue mohon. Jangan kayak
gini. Dia-“ suara itu tercekat menahan tangis. “Dia bener-bener udah
pergi Nai.” Desis suara itu lirih di ikuti isakan.
Naira
terdiam, ekspresinya mulai berubah. Wajahnya menegang, diikuti dengan
darah yang mulai surut. Iya, gadis itu mulai pucat. Tak biasanya ia
mendengar seorang Yoga menangis. Apa ini?
“Lo…
lo nggak becanda? Tapi, tadi.. L-“ Naira kehabisan tenaga untuk
berbicara. Tubuhnya terasa lemas seketika. “L ada di sini, Ga. Gue ga
salah liat kok, tadi.” Suaranya pelan.
“SADAR
NAIRA! Dia udah ninggalin kita..” terdengar teriakan frustasi dari
balik sana, membuat Naira terdasar dan dengan reflek menjatuhkan gagang
telepon itu. Ia segera berlari ke kamarnya.
“L!”
teriak gadis itu saat memasuki kamarnya. Ia semakin gelisah dan
mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Namun tidak ada. Tidak ada
seorangpun di kamarnya.
“L?
Kamu di sini kan, sayang?” gadis itu menyeka rambutnya dengan gusar,
ia mulai merasa lemas. Air matapun berjatuhan tanpa dapat ditahannya
lagi. “L? Kamu-“ suaranya tercekat, hanya terdengar isakan dari
mulutnya. Kakinya semakin lemas, tak dapat lagi menopang tubuh hingga
ia jatuh menyentuh lantai kamar yang dingin.
“L!!”
Ia berteriak histeris, memeluk baju yang kini sudah basah oleh air
matanya. “Tadi kamu di sini, kamu di sini.” Isaknya lagi. “L.. kamu
jahat! Kamu beneran ninggalin aku, hah?” bisiknya lirih. “L!” Teriaknya
semakin keras. Ia meraung, menangis sejadi-jadinya. Membuat seisi
rumah terkejut dan mengejarnya ke kamar.
Mamanya
yang melihat Naira histeris langsung memeluk anak gadisnya itu. “L
nggak pergi kan, ma? Dia tadi di sini, kan? Mama liat dia, kan?”
tanyanya dengan suara lemas di dalam pelukan mamanya.
“Nggak
sayang, dia nggak ada sini. Mama nggak liat dia.” Mama Naira
mengusap-usap bahu putrinya itu. “Tenangin diri kamu, sayang. L
beneran udah nggak ada,” mama Naira menunduk. “Barusan mamanya nelepon mama. Kamu yang sabar ya sayang.” Ucapnya lembut. Wanita paruh baya itu ikut terisak.
“MAMA BOHONG!” teriak Naira sebelum akhirnya tubuhnya limbung. Gadis itu kehilangan kesadaran.
—
Hujan kembali membasahi bumi. Lagi, air langit itu lagi-lagi
berjatuhan. Tapi saat ini berbeda bagi Naira, hujan itu tidak lagi
membawa ketenangan. Melainkan sebuah perih mendalam. hujan telah
membawa L dari hidup Naira.
Gadis itu terduduk lesu di depan jendela kamarnya. Ia merengkuh kaki
dan menumpukan dagu. Gadis itu menatap kosong ke depan, memperhatikan
titik-titik air yang menempel di kaca jendela. Matanya sembab,
pandangannya layu. Seminggu sudah L meninggalkannya. Seminggu sudah ia
menangisi kepergian laki-laki itu.
Sayang,
kamu tau? Tiap liatin hujan aku selalu ingat kamu. Hujanlah yang
mempertemukan kita pertama kalinya. Itu ngebuat aku sangat menyukai
hujan. Gadis itu membatin. Seulas senyum hampa terukir di wajahnya,
saat ia mengingat pertemuan pertama mereka di mini market dekat kampus
mereka. Saat itu, L yang kehujanan dan tidak membawa payung berteduh
di depan mini market, Naira yang melihatnya dengan senang hati
memberikan tebengan payung untuk L.
Tapi kenapa? Kenapa sekarang hujan malah membawa kamu pergi? Hujan jahat! Aku jadi membenci hujan! Sungguh! batinnya lagi. Namun kali ini wajahnya mulai menampakkan sorot kepedihan.
Malam itu kamu datang, kamu bilang kangen. Terus nggak lama setelah itu kamu ninggalin aku. kamu juga jahat! Sama kayak hujan. Gadis itu semakin merasa sesak. Setetes cairan bening mulai lolos dari matanya.
L.. kalo sekarang aku bilang, aku kangen kamu, apa kamu mau datang lagi kayak malam itu? aku mohon. Sekali aja! Pintanya dalam hati. Ia kembali termenung, memperhatikan hujan di luar sana.
Kenapa nggak datang juga? Ah, aku lupa! Kamu udah tenang di sisi
tuhan. Apa tuhan nggak ngasih izin ke kamu untuk datang ke sini?
Tuhan, izinkan dia untuk datang kali ini. Aku merindukannya tuhan. Do’a Naira dalam hati.
Dengar? Aku udah minta izin ke tuhan.
Namun
detik berikutnya, ia menenggelamkan kepala di kedua kakinya. Ia merasa
jadi orang bodoh dengan semua kata hatinya tadi. Isakan demi isakan
tak dapat di tahannya lagi. Ia merengkuh kedua lengannya, mencoba
menepis dingin yang tiba-tiba merasuki. Bahkan menusuk hingga ke
tulang. Tidak, bukan hujan yang membuatnya kedinginan, tapi rasa rindu
yang mendalamlah yang membuatnya kedinginan. Ia merindukan laki-laki
itu.
Tiba-tiba
tubuhnya terasa hangat. Hangat hingga ke hatinya, “Aku juga kangen
kamu,” terdengar suara parau khas yang hanya di miliki seseorang. Naira
sangat kenal suara itu. “Jangan nangis lagi, aku di sini.” Ucap suara
itu lagi. Naira mengangkat kepala, dan mendapati wajah pucat L yang
sedang tersenyum di depannya. Laki-laki itu kini tengah mendekap tubuh
ringkih Naira.
Tangisnya
mulai surut, berganti dengan senyuman di tengah air mata yang
membasahi pipinya. Naira memperbaiki duduknya, hingga membuat L
melepaskan dekapannya dari tubuh lemah gadis itu. Naira berdiri, dan
langsung menghambur ke dalam pelukan hangat L.
“L? Ini kamu? Ini beneran kamu kan?” tanyanya. Ia memeluk tubuh semu itu.
“Iya..
ini aku. jangan nangis lagi ya, sayang.” Ucap suara parau itu. “Kan
aku udah pernah bilang, kamu nggak boleh nangis kalau kangen aku.”
Lanjutnya.
Naira
hanya menganggukkan kepalanya yang bersandar di dada L. Dada yang tak
lagi memompa darah. Dada yang telah tenang tanpa detakan jantung.
Mereka yang telah berbeda alam itu berpelukan diiringi nyanyian hujan di luar sana. Nyanyian sendu yang membawa rindu.
Sepertinya
ini hanya mimpi seperti malam itu, tapi aku tetap senang. Setidaknya
kamu masih dapat aku rasakan. Kamu tau, sayang? Aku sangat merindukanmu
malam ini. Dan rindu ini cukup terbayar dengan hadirnya bayanganmu.
Ya, bayanganmu. Kamu adalah mimpi yang nyata, bak ilusi di tengah
hujan.
=END=
Padang, 2 Februari 2014
A/N : Cerpen ini pernah saya publikasikan di blog saya yang lain --> https://lforlovelforlife.wordpress.com/2014/02/02/ilusi-hujan/

Bagus sekali ff nya. Sampe nangis T.T
BalasHapusGa mau komen apa2 lagi mau nyungsep peluk guling aja sekarang :(
Hehehhee.. Makasih udh baca kak vie :)
BalasHapusIya, waktu nulisnya sempet galau.. :(
Haduuhh.. Jgn sampe deh kejadian yg kayak gini.
Ini hanya fiksi.. Haha